Pemindahan Ibu Kota Jepang Tinggal Wacana Karena Anggaran Menggila

JAKARTA - Indonesia bukan satu-satunya negara yang memindahkan ibu kota negara. Jepang dulu juga pernah punya rencana serupa. Namun, ide itu tinggal wacana sebab mungkin anggaran yang menggila.

Sebelum di Tokyo, ibu kota Jepang adalah Kyoto. Tokyo atau sebelumnya bernama Edo, begitu berkembang setelah Tokugawa Ieyasu mendirikan Keshogunan Tokugawa di kota tersebut pada 1603. Sebagai pusat politik dan budaya di Jepang, Edo tumbuh menjadi kota besar dengan populasi lebih dari satu juta pada pertengahan abad 18.

Sepanjang waktu ini, Kaisar tinggal di istana yang berada di Kyoto, yang merupakan ibu kota resmi negara. Keshogunan Tokugawa kemudian berakhir dan kekuasaan kekaisaran dipegang oleh Kaisar Meiji. Kaisar Meiji pindah ke Edo, yang berubah nama menjadi Tokyo. Tokyo pun akhirnya sepenuhnya menjadi ibu kota Jepang.

Mengutip Tokyo Metropolitan Government, saat itu Edo tidak hanya ibu kota tetapi pusat perdagangan utama. Pada satu titik, ekonomi Edo melesat, bahkan melebihi Kyoto. Juga, Istana Heian di Kyoto kehilangan kendali atas beberapa daerah seperti Tendai dengan pemberontak Buddha menyerang kota terus-menerus.

Namun jika dilihat dari catatan sejarah, tidak ada dekrit atau pengumuman resmi yang mengonfirmasi perubahan ibu kota dari Kyoto ke Tokyo. Setelah Keshogunan Tokugawa menyerah sekitar 1868, Kaisar Meiji masih sangat muda yaitu baru berusia 15 tahun. Meskipun ia dinobatkan sebagai kaisar pada waktu itu, kekuatan aslinya berada di tangan para oligarki.

Para oligarki ingin memindahkan ibu kota ke Edo sehingga mereka dapat memiliki kekuasaan tertinggi atas perdagangan dan akses ke barat. Mereka mengubah nama Edo menjadi Tokyo, yang berarti "ibu kota timur."

Tokyo. (Foto: Wikimedia Commons)

Anggaran jumbo

Seperti dikutip jurnal The City Planning Institute of Japan (CPIJ), pada November 1990, The National Diet, atau Dewan Perwakilan Rakyat di Jepang, meloloskan resolusi tentang relokasi pusat pemerintahan. Alasan Diet dan pemerintahan lainnya harus direlokasi untuk menghilangkan konsentrasi aktivitas yang berlebihan di Tokyo dan meratakan ekonomi ke seluruh area Jepang.

Pada Desember 1992, Diet mengesahkan Undang-Undang untuk Relokasi Diet dan Pemerintahan Lainnya. Relokasi fungsi ibu kota, seperti Diet, Mahkamah Agung dan kementerian pemerintah pusat, direncanakan dipindahkan ke suatu tempat dalam jarak 60 hingga 300 km dari Tokyo. Laporan itu memperkirakan bahwa lokasi tersebut akan berpenduduk 600.000 jiwa.

Saat itu, biaya relokasi diperkirakan 14 triliun yen, tidak termasuk uang untuk membangun bandara, jalan dan kereta api. Biaya terbesar adalah untuk pembelian tanah, diperkirakan mencapai 5 triliun yen. Namun, biaya relokasi diturunkan pada 1998, sebagai tanggapan atas kritik dari kelompok-kelompok yang menolak relokasi.

Terdapat tiga tempat yang ditawarkan untuk menjadi tempat relokasi fungsi pemerintahan. Pertama, wilayah Tochigi-Fukushima dan wilayah Gifu-Aichi. Kedua wilayah Ibaraki, yang mana memiliki keunggulan yaitu bebas dari risiko bencana alam dan diharapkan dapat berperan mendukung wilayah Tochigi-Fukushima.

Kemudian pilihan terakhir wilayah Mie-Kio. Waktu itu diperkirakan pemindahan akan dilakukan secara bertahap.

Pada 2007, kampanye relokasi pusat Pemerintahan Jepang kembali bergaung. Gifu-Aichi dan Mie-Kio kembali disebut-sebut sebagai pilihan wilayahnya. Namun hingga kini, pemindahan pusat pemerintahan tersebut masih berbentuk rencana. 

*Baca Informasi lain soal IBU KOTA BARU atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

BERNAS Lainnya