Student Loan Jadi Masalah bagi Mahasiswa AS, Mengapa Jokowi Sempat Ingin Mengadopsinya?

JAKARTA - Ide Presiden Joko Widodo mendorong perbankan lebih terbuka dalam menyediakan modal kredit atau pinjaman untuk mahasiswa kembali mencuat di media sosial. Beberapa mengkritik ide yang pernah dilontarkan Jokowi ini sebetulnya merupakan salah satu akar masalah kemiskinan pemuda di Amerika Serikat (AS). Lantas apa manfaatnya bila diterapkan di Indonesia? 

Salah seorang yang mengkritik ide student loan adalah Asisten Profesor Pendidikan Antar Agama, Lailatul Fitriyah. Kata dia, di AS, student loan dianggap sebagai salah satu momok dan akar kemiskinan orang-orang muda.

"Di amrik sini student loan dianggap sbg salah satu momok terbesar yg jadi struktur dan akar kemiskinan orang-orang muda, " kata Fitriyah lewat akun Twitter.

Fitriyah mengatakan jangan tergiur dengan kemasan program pinjaman pembiayaan yang seakan mendukung pendidikan ini. Sebab, "UUD sendiri telah jelas: Warga negara berhak mendapat [bukan membeli] pendidikan."

Menurutnya, apapun skemanya, utang tetaplah utang. "Beban keuangan masa depan yang buat level gaji seseorang di masa depan tak cukup untuk dirinya dan orang-orang yang harus ia tanggung."

Seharusnya, kata Fitriyah, yang harus digenjot itu adalah beasiswa, bukan dana pinjaman untuk pendidikan. "Jika anda merasa tertolong dengan pinjaman dari bank untuk kuliah karena berbagai alasan, maka yang salah adalah kurangnya aksesibilitas terhadap bentuk-bentuk beasiswa non-prestasi, bukan tiadanya akses pinjaman."

Berdasarkan testimoni Fitriyah pula, tak sedikit kawannya di AS yang menjadi profesor muda, namun tak merasa bahagia. "Kenapa? Karena gaji mereka harus laru untuk bayar utang pendidikan."

"Banyak orang di AS sini bekerja berpuluh-puluh tahun setelah mereka lulus dengan prestasi membanggakan. Tapi mereka tidak mampu beli rumah, apartemen dan bahkan tak mampu menabung. Hanya karena mereka masih harus bayar utang dari berpuluh-puluh tahun lalu."

Krisis student loan AS

Bila melihat datanya, krisis utang pendidikan ini memang cukup serius. Menurut laporan lembaga pemikir di Washington, Bipartisan Policy Center (2021), utang pendidikan mahasiswa membengkak 144 persen sejak 2007. Dan mereka yang berutang ada sekitar 45 juta orang dengan total pinjaman pendidikan mencapai 1,7 triliun dolar AS.

Zack Friedman, seorang perencana keuangan cum penulis The Lemonade Life dalam tulisannya di Forbes menilai krisis student loan lebih buruk dari yang selama ini banyak orang kira. Mengapa demikian?

Pertama, menurut Friedman, adanya peningkatan akses kredit utang pendidikan. Ia menyebut hal ini bak pedang bermata dua. Musababnya, seiring memudahnya akses student loan maka akan banyak orang dapat mengakses perguruan tinggi.

Tapi di saat bersamaan kampus juga akan menaikkan biaya pendidikan karena meningkatnya permintaan. Hal inilah yang akhirnya jarang terpikirkan oleh mahasiswa AS, sehingga mereka kurang memperhitungkan bunga yang terus meningkat tiap tahunnya. Dan pada akhirnya, tak sedikit yang kewalahan membayar cicilan student loan.

Kemudian kedua, di AS dukungan negara untuk pendidikan tinggi itu tak besar. "Dukungan negara untuk pendidikan tinggi telah menurun. Dengan banyak negara bagian menghadapi pemotongan anggaran dan pendapatan pajak yang menurun, negara bagian tidak dapat mengimbangi peningkatan biaya kuliah, kamar dan makan di banyak perguruan tinggi dan universitas negeri," tulis Friedman.

Dan ketiga, student loan tidak dibatasi. Friedman bilang, universitas yang kurang bonafide pun masih tetap punya akses untuk menyalurkan student loan. Masalahnya, bukan hanya tak menjamin mahasiswa bakal mendapat pendidikan kualitas tinggi saja.

"Tapi jika mahasiswa peminjam utang pendidikan di sekolah ini tak dapat membayar kembali pinjamannya, maka pemerintah federal menanggung biaya keuangannya. Untuk itu penulis menyerukan akuntabilitas institusional yang lebih baik."

Ilustrasi (Sumber foto: Antara)

Sisi neoliberalisme

Dari sisi sejarahnya, transformasi pendidikan tinggi mengikuti ideologi ekonomi politik AS yang dianggap bergerak ke arah neoliberalisme sejak rezim Presiden Ronald Reagan pada 1970. Neoliberalisme di sini artinya, seperti dijelaskan Ekiyama Bramantika dan Nanang P Mugasejati dalam skripsinya yang bertajuk "The Conseqeunces of Neoliberalization of Higher Education on Freedom: The Case of Student Loan Debt in US", pendidikan tinggi bergeser dari sebuah sektor yang dianggap investasi publik menjadi sebuah sektor yang dianggap investasi pribadi.

"Yang tanggung jawabnya diserahkan kepada pribadi masing-masing, bukan egara. Presiden Reagan merupakan Presiden yang memimpin proses neoliberalisasi pedidikan tinggi di Amerika, dengan mendorong Negara Negara bagian untuk turut serta memangkas dana subsidi bagi pendidikan tinggi di Negara bagian masing-masing. Disaat yang sama Reagan juga mendorong para pelajar untuk menggunakan hutang sebagai cara untuk membiayai pendidikan tinggi mereka."

Hal ini yang menurut Ekiyama dan Nanang (2017)  berdampak pada melonjaknya angka dan beban utang yang ditanggung oleh masing-masing pelajar, serta melonjaknya biaya pendidikan. Skema student loan dipercaya bakal membuka akses lebih lebar bagi pendidikan tinggi di AS, dan meningkatkan kebebasan individu dan mobilitas sosial mereka. Namun menurut analisis Ekiyama dkk hal yang terjadi justru sebaliknya.

"Walau skema hutang diawal membuka akses lebih lebar untuk individu memasuki dunia perkuliahan, namun disaat yang sama, beban hutang ternyata pada akhirnyajustru menciptakan restriksi tambahan. Dan berbagai macam efek samping yang akhirnya menghalangi pemegang hutang untuk berpartisipas secara aktif dalam kegiatan pasar, maupun menghalangi mereka untuk lebih bebas bergerak dalam tangga sosial."

Kembali ke Indonesia. Presiden Joko Widodo sejatinya sudah melontarkan gagasan student loan sejak 2018 silam tatkala Jokowi meminta perbankan menyediakan model kredit atau pinjaman kepada pelajar kurang mampu.

“Saya ingin memberi PR kepada bapak ibu sekalian dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan,” ungkapnya saat bertemu dengan para pimpinan bank umum Indonesia, di Istana Negara 15 Maret 2018 seperti dikutip Suara.com.

*Baca Informasi lain tentang PENELITIAN baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya