Usulkan Polisi di Bawah Kementerian, IPW: Hati-hati Dwifungsi Polri
JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) mengkritik usulan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Pur) Agus Widjoyo yang menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri.
IPW menilai, hal itu bisa dianalogikan seperti hembusan angin pada bukit karang di laut, yang tidak memiliki pengaruh apapun pada institusional Polri.
Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso, mengatakan usulan tersebut akan membentur bukit karang yang kokoh terkait regulasi dan praktek politik yang rumit. Sebab, sesuai pasal 30 ayat 4 UUD 1945 tertulis, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Sementara dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Sedangkan pasal 8 UU NO. 2 Tahun 2002 ditetapkan dengan jelas bahwa institusi Polri berada dibawah Presiden sebagai Kepala Negara.
"Bila usulan Gubernur Lemhannas tersebut hendak diwujudkan akan ada proses panjang perubahan atau amandemen konstitusi, Pencabutan Ketetapan MPR dan revisi UU Polri," ujar Sugeng di Jakarta, Selasa, 4 Januari.
Selain itu, lanjutnya, akan menghadapi proses politik rumit dan penuh bargaining-bargaining politik dengan partai partai besar dan pimpinan partai untuk dapat mendorong usulan Gubernur Lemhannas tersebut.
Memperhatikan polemik terkait usulan tersebut, kata Sugeng, usulan Gubernur Lemhannas ini hanyalah sebagai suatu momentum mengingatkan masyarakat, politisi bahkan presiden tentang isu dwifungsi polri yang makin menguat pasca reformasi. Terutama peran sospol yang sangat nyata dan menjadi sorotan kelompok dwifungsi ABRI yang dulu ada dan sekarang sudah selesai tersebut.
"Sehingga nampak ada pergeseran sentrum kekuatan dari dwifungsi ABRI pada masa orde baru, menjadi dwifungsi Polri pada era reformasi saat ini," katanya.
Sugeng menjelaskan, istilah 'dwifungsi Polri' sendiri memang tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi nyata teraplikasi berdasarkan pasal 28 UU 2 Tahun 2002 tentang Polri. Oleh karenanya, hal ini harus menjadi satu pemikiran serius dari pimpinan Polri.
"Wujud dari 'dwifungsi Polri' itu muncul pada penempatan polisi-polisi aktif dengan penugasan oleh kapolri pada lembaga-lembaga sipil, kementerian dan BUMN," sebutnya.
Disamping itu, jelas Sugeng, adanya potensi tahun politik dimana menurut kemendagri sedikitnya ada 272 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 harus diisi oleh pelaksana tugas (Plt). Sementara pelaksanaan pilkadanya akan berlangsung serentak pada 2024 dan membutuhkan keamanan dalam negeri.
"Dalam penunjukan pelaksana tugas, pemerintah selalu mempertimbangkan orang yang mampu untuk menjaga keamanan hingga selesainya pilkada. Sektor keamanan dalam negeri menjadi prioritas utama dan adalah tupoksi Polri," terangnya.
Sugeng pun mengurai, dalam praktek politik pernah terjadi preseden pada Pilkada Jabar 2018. Saat itu, pemerintah menunjuk perwira tinggi Polri yang juga sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komjen Pol. Mochamad Iriawan atau Iwan Bule sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jabar.
Penunjukkannya sendiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 tentang Pengesahan Pemberhentian Dengan Hormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Masa Jabatan Tahun 2013-2018 dan Pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat yang ditandatangani Presiden Jokowi, pada 8 Juni 2018. Namun, banyak kalangan yang memprotesnya tapi pemerintah tetap melantik karena jaminan bisa menjaga keamanan wilayah.
Memperhatikan hal ini, IPW menilai pimpinan polri harus cermat, hati-hati dan mawas diri terkait isu dwifungsi Polri agar tidak terjadi kecemburuan dari institusi lain.
"Dengan bergulirnya usulan Gubernur Lemhannas yang menurut IPW memiliki relasi dengan isu 'dwifungsi Polri' maka IPW meminta Presiden memberikan atensi khusus agar tidak terjadi sikap kebablasan dari institusi Polri yang berpotensi munculnya riak riak politik dari kelompok yang merasa tertinggal," demikian Sugeng.
Baca juga:
- Usulan Lemhanas Soal Kementerian Baru yang Bawahi Polri Belum Dibahas dan Dianggap Wacana Lama
- Mahfud: Wacana Kementerian Keamanan Dalam Negeri Sudah Lama, Pemerintah Belum Pernah Bicarakan
- Jokowi: Jangan Ada Lagi Dispensasi Karantina, Apalagi Kejadian Bayar-bayar
- Bahar Smith Penuhi Panggilan Polda Jabar Terkait Penyidikan Kasus Ujaran Kebencian
Sebelumnya, Agus Widjojo dalam pernyataannya menyebut Kementerian Keamanan Dalam Negeri akan menaungi Polri. Usulan ini didasari hasil kajian internal di Lemhanas.
Dia mengatakan selama ini masalah keamanan masuk dalam portofolio Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hanya saja, Lemhanas menilai beban di kementerian itu sudah terlalu banyak sehingga perlu dibentuk Kementerian Keamanan Dalam Negeri.
Agus menyatakan usulan ini memang sebatas wacana dan belum diusulkan secara resmi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tapi, dia menilai, Polri sebagai lembaga operasional seharusnya tidak bisa merumuskan kebijakannya sendiri.
"Untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban perlu ada penegakan hukum, itu Polri. Seyogianya diletakkan di bawah salah satu kementerian, dan Polri seperti TNI, sebuah lembaga operasional. Operasional harus dirumuskan di tingkat menteri oleh lembaga bersifat politis, dari situ perumusan kebijakan dibuat, pertahanan oleh TNI, dan keamanan ketertiban oleh Polri," ungkap Agus.