Kisruh Saham PT CLM, Helmut Hermawan Sebut Ditjen AHU Diperdaya PT AMI melalui BANI
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan berharap Dirjen Administrasi Hukum (AHU) Kemenkumham RI dengan sukarela merevisi keputusan yang dibuat hanya berdasarkan putusan akhir Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tanpa mempelajari isinya secara keseluruhan.

Pasalnya, putusan badan yang menjadi penengah dalam konflik saham tersebut, keluar saat Perjanjian Pemegang Saham (PPS) masih berlaku. Padahal, PPS otomatis berakhir ketika PT Aserra Mineralindo Investama (AMI) tidak memenuhi ketentuan perihal pelunasan Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB) dalam jangka waktu 6 bulan.

"Hanya bermodal keputusan BANI, mereka (Dirjen AHU Kemenkumham) mengambil keputusan tanpa mendalami apa isi perjanjian saham secara keseluruhan, yang menjadi dasar keluarnya BANI. Padahal BANI itu keluar sebelum PPS berakhir karena ada wanprestasi dari pihak AMI. Mestinya tidak begitu. Prosedurnya tidak pas, apalagi polisi kemudian mengabulkan eksekusi dalam waktu yang sangat singkat berdasarkan laporan palsu," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu 5 Februari.

Helmut memaparkan, dalam Perjanjian Pemegang Saham (PPS) dan Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB) yang dibuat dan ditandatangani pada 14 Mei 2019 antara AMI, APMR dan  pemegang saham lain dalam hal ini Thomas Azali, ada fakta bahwa AMI belum dapat melakukan penutupan transaksi atas PJBB  sebesar 21.500.000 dolar AS setelah pemberian deposit dan pelaksanaan due diligence.

Sementara pasal 7 dalam PPS itu juga menyebutkan beberapa ketentuan yang dapat menyebabkan berakhirnya  perjanjian. Antara lain jika dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal perjanjian terlampaui, kesepakatan tersebut tidak terpenuhi, bantuan modal kerja (BMK) yang telah diberikan wajib dikembalikan kepada AMI dalam jangka waktu 14 hari kalender sejak berakhirnya PPS, dan saham perseroan akan dikembalikan AMI kepada pemegang saham awal.

Kenyataannya, pelunasan transaksi jual beli saham CLM oleh AMI tidak terjadi dan tidak berhasil dilaksanakan. Ini berarti, lanjut Helmut, sesuai ketentuan, AMI mestinya mengembalikan kepemilikan saham 50 persen  kepada APMR. Apalagi APMR juga sudah mengembalikan BMK senilai 20M pada 4 Oktober 2019.

"Karena pihak APMR sudah mengembalikan BMK yang 20M itu, maka seharusnya kewajiban untuk memberikan saham menjadi gugur karena transaksi tidak terpenuhi sesuai ketentuan dalam perjanjian," ujar Helmut.

Menurut Helmut, putusan BANI sebenarnya justru menguatkan bahwa jumlah saham AMI adalah nol, bukan 50 persen karena PJBB sudah batal.

"Dan faktanya lagi, sampai saat ini tidak pernah ada BAP penyerahan saham," lanjutnya.

Menilik putusan BANI, lanjut Helmut, seharusnya saham yang diberikan kepada AMI pun  hanya 50 persen. Namun pada kenyataannya, berdasarkan Penetapan Sita Eksekusi, AMI bermohon kepada PN Jaksel agar APMR menyerahkan saham 100 persen yang bertentangan dengan putusan BANI.

Helmut mengungkapkan, pada saat memasukkan permohonan BANI per Januari 2020, sebenarnya perjanjian sudah dikatakan daluwarsa mengingat sudah melewati tenggat waktu selama 6 bulan terhitung dari Mei 2019. Karena telah daluwarsa dan perjanjian tidak terpenuhi, maka pihak APMR bersurat kepada pihak AMI untuk mengakhiri perjanjian. Namun AMI menolak dan justru melontarkan somasi serta laporan kepada polisi.

Dalam korespondensi dengan AMI, lanjut Helmut, pihaknya juga sudah meminta nomor rekening untuk pengembalian deposit sebesar 2 juta dolar AS yang sudah masuk, namun tidak pernah mendapat tanggapan dari pihak AMI.

IPW: Akta Putusan BANI Berdasarkan Keterangan Palsu

Mencermati keputusan BANI tersebut, Indonesia Police Watch (IPW) memberikan pendapat bahwa AMI telah bermain di celah-celah prosedur hukum secara sistematis dan terstruktur dengan melibatkan Notaris, Polri, Kementerian Hukum dan HAM serta dunia peradilan untuk menaklukkan pemegang IUP dalam hal ini PT CLM.

Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, dan Sekjen Data Wardhana beberapa waktu lalu, IPW menyoroti perbuatan hukum Zaenal Abidinsyah Siregar sebagai Direktur PT AMI,  yang dengan bantuan Notaris Oktaviana Kusuma Anggraini melalui pembuatan Akta Nomor 6 Tanggal 24 Agustus 2022, telah mengambil alih 100 persen saham PT APMR. Padahal Putusan BANI Nomor: 43006/I/ARB/BANI/2020 Tanggal 24 Mei 2021 memerintahkan PT APMR hanya wajib mengalihkan kepemilikan saham 50 persen PT APMR dari 100 persen saham yang berjumlah 200 lembar saham.

Atas penguasaan 100 persen saham PT AMI melalui Notaris Oktaviana Kusuma Anggraini itu,  IPW berpendapat, terjadi peristiwa hukum penggelapan saham dan memberikan keterangan palsu ke dalam akta otentik putusan BANI.

Dengan dasar Putusan BANI dan Akta Nomor 6 tanggal 24 Agustus 2022 itulah, PT AMI menerbitkan Akta Notaris Nomor 6 tanggal 13 September 2022 untuk meningkatkan saham milik PT AMI di PT APMR menjadi 500 persen. Padahal, putusan BANI tidak pernah menyebutkan adanya peningkatan saham menjadi 500 persen.

Akrobat hukum PT AMI ini, demikian pendapat IPW, secara nyata terdapat dalam akta Nomor 6 tanggal 13 September 2022 sebagaimana disebutkan dalam halaman 10 akta tersebut. Dimana, setelah mengalihkan dan merebut seluruh saham dengan menghilangkan saham Thomas Azali dan Ruskin, kemudian seolah-olah dikembalikan 50 persen, lalu diterbitkan kembali 400 lembar saham.

Dugaan ini diperkuat dengan adanya putusan dari Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Administrasi Jakarta Selatan tanggal 17 November 2022. Dalam putusan tersebut, Majelis Pengawas Daerah menilai bahwa Notaris Oktaviana tidak cermat dan tidak hati-hati dalam pembuatan akta nomor 06 tgl 13 Sept 2022 yang dasarnya adalah putusan BANI 24 Mei 2021 dan Penetapan PN No 49/Eks.Arb/2021/PN. Jkt. Sel sehingga mengakibatkan kerugian sangat besar kepada pihak lain dalam hal ini PT APMR dan Thomas Azali. Karena perbuatan hukum tersebut, notaris Oktaviana dinilai telah melanggar kode etik jabatan notaris.

IPW mengamati, peningkatan saham dan pengambil-alihan perusahaan PT APMR (pemegang saham 85 persen PT CLM) secara melawan hukum itu berlanjut, ketika PT AMI melalui Akta Nomor 01 tanggal 3 November 2022 menerbitkan saham baru PT CLM. Dalam susunan saham yang baru ini, 7.803 saham diambil oleh PT Ferolindo Mineral Nusantara.

Berdasarkan penelusuran IPW terhadap data Ditjen AHU Kemenkumham, profil perusahaan PT Ferolindo Mineral Nusantara dimiliki oleh dua orang pemegang saham pada saat dibuatnya Akta  Nomor 01 tanggal 3 November 2022. Yang pertama Haji Samsudin Andi Arsyad (pengusaha besar) dan satu orang lagi adalah pihak yang terafiliasi langsung dengan salah satu petinggi Polri di Mabes Polri. Namun setelah kasus ini mencuat ke publik, menurut IPW, pihak yang terafiliasi dengan petinggi Polri itu mengalihkan kepemilikan sahamnya.

Akibat adanya kekuatan pengusaha besar dan pihak yang terafiliasi langsung dengan petinggi Polri tersebut, IPW menduga Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Ditjen AHU melakukan tindakan unprofessional yang mengarah kepada penyalahgunaan wewenang.

Hal itu terlihat dari keberpihakan Ditjen AHU dalam pembukaan blokir atas permintaan PT AMI sebagai pemegang saham baru padahal belum mendapat pengesahan badan hukum. Juga dalam penerbitan pengesahan susunan pemegang saham dan direksi baru PT APMR berdasarkan akta 06 tanggal 24 Agustus 2022 dan akta 06 tanggal 13 September 2022, yang secara materiil bertentangan dengan putusan BANI serta putusan Majelis Pengawas Daerah Notaris.

Dengan kekuatan tersebut, PT AMI kemudian menggerakkan oknum-oknum kepolisian untuk melakukan pengambilalihan paksa tambang pada tanggal 5 November 2022.

Oleh karena itu, sesuai dengan arahan Presiden bahwa investor harus dilindungi, maka IPW mendesak Menkopolhukam Mahfud MD untuk turun tangan mengatasi pengambilalihan secara paksa (hostile take over) yang dilakukan mafia tambang dengan menggunakan prosedur hukum yang menyimpang.