Ma'ruf Amin Sebut Jiwa Keagamaan dalam Sistem Politik Indonesia Melemah, Bahkan Hampir Mati
JAKARTA - Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan jiwa keagamaan pada sistem politik Indonesia telah mengalami pelemahan, bahkan hampir mati pada masa kini.
Hal ini disampaikan Ma'ruf saat memberikan pidato pada acara peluncuran dan bedah buku 'Historiografi Khitah dan Politik Nahdlatul Ulama' di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Rabu, 22 Desember.
"Saya temukan apa yang dikatakan K.H. Hasyim Asy’ari itu ada semacam keluhan, telah melemah jiwa keagamaan dalam sistem perpolitikan di Indonesia, bahkan hampir mati di akhir-akhir ini," kata Ma'ruf ddilansir dari Antara.
Ma'ruf menceritakan perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat keagamaan Islam yang terjun ke dunia politik telah memperkuat sistem politik Indonesia.
Sebelum 1952, lanjut dia, NU menyalurkan aspirasi politis para anggotanya melalui Masyumi, yaitu satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi umat Islam saat itu.
Selanjutnya, ketika NU tidak mempertimbangkan Masyumi dapat menyalurkan aspirasi politis nahdiyin saat itu, NU kemudian mengubah organisasinya menjadi partai politik (parpol).
Baca juga:
- Ridwan Kamil: 400 PNS Jawa Barat ‘Digeser’ karena Kehadiran Teknologi
- Imbas Pandemi COVID-19, Pengiriman Pekerja Migran Asal Jabar ke Luar Negeri Merosot ke Angka 15 Ribu Orang
- Iriana Jokowi di Hadapan Istri Ridwan Kamil dan Rombongan: Tindak Tegas Pelaku Asusila pada Anak dengan Dihukum Seberat-beratnya
- Survei JRC: Risma di Urutan Teratas Bakal Cagub DKI, Riza Patria Posisi Ketiga
"Ketika NU menjadi partai, saya masih menikmati masa itu. Akhir tahun 1971, saya menjadi anggota DPRD DKI Jakarta, bahkan saya menjadi Ketua Fraksi Golongan Islam. Umur saya waktu itu masih 26 atau 27 tahun," tutur Ma’ruf Amin.
Pada tahun 1973, NU sebagai partai keagamaan Islam saat itu bergabung dengan beberapa partai keagamaan lain, yakni Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbyah Islamiyah (Perti), dan Parmusi untuk membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Penggabungan sejumlah partai politik keagamaan Islam tersebut, kata Wapres, bertujuan untuk membuat sistem kepartaian di Indonesia menjadi sederhana menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 1973.
"Jadi, ini memang perjalanannya NU, karena memang negara dan undang-undang menghendaki fusi. Oleh karena itu, NU kembali sebagai jamiyah diniyah dan aspirasi politiknya di PPP," ujarnya.