DPD: Presidential Threshold 20 Persen Merugikan Parpol

JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) turut mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu 17 Tahun 2017.

Wakil Ketua DPD, Sultan B Najamudin, mendesak adanya revisi UU Pemilu terkait presidential threshold (PT) 20 persen, lantaran sudah tidak relevan dengan semangat demokrasi saat ini.

"Benar konstitusi mensyaratkan partai politik sebagai kendaraan politik capres, tapi parpol tidak bisa mengklaim menjadi pihak yang paling baik dan paling berjasa dalam membangun demokrasi," ujar Sultan kepada wartawan, Jumat, 17 Desember. 

Menurut mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu, presidential threshold 20 persen adalah wujud diskriminasi politik terhadap partai politik tertentu. Serta menegasikan realitas demografi Indonesia yang sangat besar.

"Tidak adil jika rakyat yang berjumlah 270 juta jiwa ini hanya disuguhi dengan dua pilihan capres yang merupakan hasil skenario politik elite dan parpol menjadi pihak yang dirugikan juga dengan ketentuan ini," kata Sultan.

Justru, kata Sultan, partai politik seharusnya menjadi pihak yang paling dirugikan dengan ketentuan ini. Karena setiap partai tentu memiliki visi dan platform politik yang berbeda.

"Namun karena partai cenderung pragmatis dan tidak ideologis, maka hal ini menjadi lumrah. Sehingga, parpol kehilangan perannya dalam melahirkan calon pemimpin," tegasnya.

Kalau pun ada, sambung dia, maka calon presidennya hanya itu-itu saja. Parpol gagal meregenerasi sel-sel kepemimpinan bangsa, berikut tugas edukasi politiknya bagi masyarakat.

“Karena parpol lebih memilih berkoalisi dengan pemerintah, akibatnya landscape demokrasi kita menjadi kering. Buktinya indeks demokrasi Indonesia sejak 2020 menempati titik terendahnya sejak reformasi. Bahkan indeks demokrasi kita kalah dari Timor leste,” katanya.

Senator Bengkulu itu mengatakan, parpol yang seharusnya melahirkan politisi-politisi yang ideal bagi demokrasi justru mencari aman di ruang kekuasaan. Bahkan, kata Sultan, ketua umum partai bersedia menjadi pembantu presiden. 

"Akibatnya Demokrasi kita terkesan hanya melahirkan politisi, bukan negarawan," kritiknya.

Sultan menilai, pengalaman dua kali pilpres terakhir harus dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Sebab, dengan ambang batas yang demikian tinggi, partai politik hanya terafiliasi dalam dua poros koalisi besar. 

"Di sanalah oligarki dengan kekuatan modalnya bermain, lalu mempengaruhi hasil pemilu dan kebijakan politik pemerintahan selanjutnya," kata Sultan.

Sehingga, menurutnya, pemilu sekadar menjadi formalitas demokrasi. Tidak memberikan solusi kepemimpinan nasional yang ideal dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tapi pemimpin yang sesuai kehendak oligarki.

Karena itu, Sultan menilai, Indonesia harus bisa merayakan demokrasi secara lebih variatif dan sukarela dalam menentukan pilihan politiknya. Menurutnya, semakin banyak pilihan maka akan semakin baik dan kompetitif proses seleksi dalam berdemokrasi.

"Ketentuan ambang batas 20 persen justru menjadi penyebab segregasi sosial politik bangsa selama ini. Lalu untuk apa kita mempertahankannya?," ujar Sultan.