Fakta Kremasi Jenazah, Cara Pemakaman yang Dilakukan pada Laura Anna

JAKARTA – Proses kremasi jenazah Laura Anna telah dilakukan siang tadi, Kamis, 16 Desember 2021 di Grand Heaven, Jakarta. Terkait dengan kremasi, menurut cerita Greta Iren, kakak Laura Anna, adiknya pernah punya keinginan ketika meninggal dimakamkan dengan dikremasi.

Obrolan dengan sang kakak ketika itu dalam situasi bercanda. Seolah mengabulkan keinginan orang terkasih, pada akhirnya keluarga almarhumah Laura Anna memutuskan untuk melakukan cara pemakaman dengan dikremasi. Tambah kakaknya, belum diputuskan kapan akan dilarung. Abu akan disemayamkan sementara waktu di rumah.

Fakta sejarah tentang kremasi jenazah

Berdasarkan fakta sejarah, tradisi dan kepercayaan dekat kaitannya dengan penguburan jenazah. Terdapat sejumlah ritual penguburan jenazah, seperti perkuburan, pengawetan, dan di Nusantara terdapat ritual penguburan berdasarkan tradisi, seperti waruga di Minahasa, rambu solo oleh masyarakat Toraja, dan kremasi yang tercatat memiliki berbagai perspektif.

Kremasi, dilansir Historia, 16 Desember, dilakukan dengan cara membakar jenazah hingga menjadi abu sehingga dikenal juga dengan proses pengabuan. Dalam ajaran Hindu, pengabuan jenazah dipercaya membantu melepaskan roh dari keterikatan duniawi. Terlepasnya ikatan dengan duniawi membantu unsur-unsur materi pembentuk tubuh sehingga dipercaya segera menyatu dan kembali dengan alam.

Mengutip dari Britanica, praktik kremasi di atas api terbuka dikenal oleh orang Yunani sejak 1000 SM. Praktik kremasi di Yunani merupakan adopsi dari orang yang tinggal di belahan Bumi bagian utara. Pemakaman dengan cara ini dipraktikkan pada tentara yang gugur di medan perang. Abu akan dikumpulkan dan dikirim ke tanah air untuk upacara penguburan.

Praktik kremasi di Yunani, secara simbolis erat dengan keberanian, kebajikan, dan patriotisme. Dalam mitologi Yunani Kuno, Achiles prajurit yang paling berani, tampan, dan paling hebat dalam Perang Troya juga diperabukan dengan dipakaikan pakaian para dewa. Bangsa Romawi juga mengikuti gaya Yunani untuk mengkremasi pahlawan perang.

Sekitar tahun 100 M, kremasi di Kekaisaran Romawi dihentikan kecuali dalam keadaan darurat. Meskipun tidak ada penjelasan eksplisit mengenai pemberhentian praktik kremasi, beberapa ahli menduga karena penyebaran agama Kristen. Alasan paling praktis dari berhentinya praktik kremasi adalah mengancam kekurangan kayu.

Pemahaman orang-orang Skandinavia mengenai praktik kremasi sejajar dengan Yunani dan Romawi. Kremasi menurut mereka membantu membebaskan roh dari daging dan juga mencegah orang mati menyakiti orang hidup.

Di India kremasi adalah keinginan semua umat Hindu untuk diperabukan di Varanasi, tepi laut kota suci. Abunya kemudian dilarung di Sungai Gangga. Di beberapa negara di Asia, seperti Tibet dan Laos, kremasi dilakukan untuk orang-orang suci dan meninggal dalam damai. Di Bali, kremasi atau dikenal dengan upacara Ngaben dilakukan pada hari baik dan dilakukan untuk mengantarkan jiwa menuju surga tertinggi.

Kremasi pada masyarakat modern

Terlepas dari tradisi dan kepercayaan, kremasi pada masyarakat modern dilakukan dengan cara yang berbeda. Kremasi tidak menggunakan api terbuka, tetapi jenazah dimasukkan dalam peti kemudian diperabukan di dalam ruangan sangat panas yang disebut dengan ruang pengabuan. Abu kemudian disimpan di guci kecil dan dimakamkan di kolumbium atau dilarung di tempat yang diinginkan.

Praktik kremasi pada masyarakat modern didukung oleh ahli bedah Ratu Victoria, Sir Henry Thompson pada tahun 1874 dalam bukunya Cremation: The Treatment of the Body After Death. Pada tahun 1884, pada akhirnya pengadilan Inggris memutuskan kremasi masuk dalam aturan hukum dan praktik kremasi diterima sebagai cara penguburan yang positif sebagai respons atas menyempitnya lahan.