KPK Dalami Aliran Uang Suap untuk Bupati Hulu Sungai Utara dan Penggunaannya Lewat Anggota DPRD Tabalong
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami aliran uang suap kepada Bupati Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, nonaktif Abdul Wahid yang diduga digunakan untuk keperluan pribadinya.
Pendalaman dilakukan melalui seorang saksi yaitu anggota DPRD Tabalong dari PDI Perjuangan Rini Irawanty. Dia diperiksa pada Rabu, 8 Desember di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
"Tim penyidik telah memeriksa saksi untuk tersangka AW," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri, Jumat, 10 Desember.
Dalam pemeriksaan itu, Rini dicecar penyidik dengan sejumlah pertanyaan berkaitan dengan aliran uang yang diterima Abdul Wahid dan penggunaannya. Ali mengatakan, tersangka penerima suap terkait pengadaan barang dan jasa itu diduga menggunakan uang yang diterimanya untuk memenuhi keperluan pribadinya.
"Rini Irawanty, anggota DPRD Tabalong hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya aliran penerimaan sejumlah uang oleh tersangka AW dan pihak terkait lainnya yang selanjutnya digunakan untuk beberapa keperluan pribadi tersangka AW," ungkapnya.
Baca juga:
- Presiden Jokowi Disebut Jadi Konduktor Orkestra Pemberantasan Korupsi Oleh Firli Bahuri Tapi Dianggap Gagal
- Soal Kasus BLBI, HMS Minta Pemerintah Jangan Hanya Fokus di Rp110 Triliun: Ada Potensi Kerugian Negara hingga Rp1.000 Triliun
- Jaksa Agung Instruksikan Jajarannya Konsisten Terapkan Dakwaan Pencucian Uang
- Banyak Perkara Mangkrak, Pengamat Nilai Upaya Pemberantasan Korupsi di Papua Barat Belum Maksimal
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan dan menahan Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid. Penetapan ini merupakan pengembangan kasus dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada 15 November lalu di mana 3 orang jadi tersangka.
Adapun tiga orang yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan adalah Plt Kadis PU Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Maliki; Direktur CV Hanamas, Marhaini; dan Direktur CV Kalpataru, Fachriadi.
Dalam kasus ini, Abdul jadi tersangka karena menerima uang dari Plt Kepala Dinas PUPRP Maliki. Uang tersebut diserahkan sesuai permintaannya karena menunjuk Maliki.
Selain itu, Abdul juga menerima pemberian komitmen fee sebesar 10 persen dari proyek pekerjaan Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara tahun 2021 dengan jumlah Rp500 juta.
Berikutnya, ia juga diduga menerima uang sejumlah Rp4,6 miliar pada 2019; Rp12 miliar pada 2020; dan Rp1,8 miliar pada 2021. Uang tersebut diberikan sebagai komitmen fee dari proyek lain yang telah dikerjakan oleh pihak swasta.