Ungkap Modus Pencucian Uang, PPATK: Kuno Tapi Marak Dilakukan Pejabat Pegang ATM Pihak Lain
JAKARTA - Direktur Analisis dan Pemeriksaan I Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Novian mengatakan ada tiga modus yang digunakan para pejabat untuk melakukan pencucian uang hasil tindak pidana korupsi. Salah satu yang masih banyak digunakan adalah memegang kartu ATM maupun kartu kredit atas nama pihak lain.
Hal ini disampaikannya dalam kegiatan Diskusi Panel: Mewujudkan Sinergi Antar Aparat Penegak Hukum dan Instansi Terkait. Acara ini dilakukan menjelang peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 yang akan diperingati pada 9 Desember mendatang.
"Ini agak kuno tapi marak dilakukan di mana pejabat publik atau penyelenggara negara memegang atm atau kartu kredit milik pihak lain," kata Novian seperti dikutip dari YouTube KPK RI, Senin, 6 Desember.
Baca juga:
- KPK Tak Banding Vonis Eks Gubernur Sulsel yang Terbukti Korupsi, Segera Eksekusi ke Penjara
- Mahfud MD Ungkap Ada Hakim Korupsi Kena Karma: Tuanya Sakit-sakitan, Uangnya Dibawa Kabur
- Minta Aparat Penegak Hukum Satu Visi Berantas Korupsi, KPK: Kalau Tidak Sama, Bisa Saling Sikut Hingga Sliding
- Beri Penghargaan Laporan Gratifikasi ke Individu, KPK: Kalau ke Lembaga/Kementerian Kerap Berujung OTT
Kartu ATM maupun kartu kredit ini, sambung dia, bahkan bisa dibuat dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu. Sehingga, Novian bilang, pejabat korup itu bisa memiliki banyak rekening untuk menampung uang hasil praktik lancung.
"Nah, (modus, red) ini menjadi tantangan karena transaksi tidak terlihat ada underline yang berasal dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku," ungkapnya.
Selanjutnya, motif lain yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan perusahaan valuta asing atau money changer. Cara ini, kata Novian, kerap digunakan saat pejabat mendapat suap dari pihak asing.
Dia mengungkap modus ini biasanya dilakukan saat pihak asing menitipkan uang untuk diberikan kepada pejabat tertentu di Indonesia. "Jadi pegawai perusahaan valuta asing itu membawa ribuan dolar melalui Batam. Dibawa dengan uang tunai untuk diserahkan ke valuta asing lain di Indonesia," jelas Novian.
"Nanti, di penghujung transaksi, perusahaan valuta asing melakukan tarik tunai dan diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan," imbuhnya.
Novian mengatakan cara ini banyak digunakan karena aman dan tidak pernah terdeteksi. "Ini hampir mirip dengan hawala. Bahwasannya menggunakan money changer dan kuota uang tunai sebagaimana diatur dalam aturan Bank Indonesia yang disalahgunakan," katanya.
Cara terakhir adalah dengan menggunakan perusahaan cangkang. Novian mengatakan cara ini digunakan dalam kasus suap pengadaan mesin pesawat Roll Royce.
Sebagai informasi, kasus tersebut melibatkan sejumlah petinggi di PT Garuda Indonesia dan pihak swasta. Korupsi tersebut telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Itu menggunakan perusahaan cangkang kemudian menggunakan profesi lawyer dan notaris untuk rekayasa transaksi dan merekayasa hukum agar uang yang diterima untuk menyuap pejabat di Indonesia seolah dari kegiatan bisnis yang sah," ujarnya.
Menurut Novian, modus pencucian uang tentunya akan terus dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Tujuannya, agar garta yang mereka dapat dari perbuatan lancung itu tidak terendus oleh aparat penegak hukum.
"Upaya-upaya yang membuat agar tidak terlihat kejahatan korupsi, harta hasil kejahatan korupsi itu tidak terlihat kita kenal dengan pidana pencucian uang. Jadi dia berbuat jahat, tapi pura-pura tidak berbuat jahat dengan cara mencuci uang," ungkap Novian.
"Jadi begitu korupsi terungkap dia hanya akan, istilahnya pasang badan tapi hartanya disembunyikan dengan berbagai macam cara dengan menggunakan orang terdekat, bisa menggunakan profesional money lounder supayaharta tersebut tidak terlihat di tatanan formal atau kepada APH," pungkasnya.