Buka-bukaan Erick Thohir: Tak Mudah Menyatukan Visi BUMN, Bisnis Intinya Beda-Beda

JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengakui bahwa tak mudah menyatukan perusahaan pelat merah dalam satu payung visi. Hal ini karena perusahaan pelat merah memiliki peta jalan hingga bisnis inti (core business) masing-masing.

Namun, lanjut Erick, upaya pemetaan dan mengkonsolidasikan perseroan dalam kerangka visi yang sama terus dilakukan Kementerian BUMN selaku pemegang saham.

"Program kerja, ketika kita coba mengkonsolidasikan bahwa semua BUMN punya visi yang sama, tidak mudah. Karena kita tahu masing-masing BUMN sesuai dengan petanya, ada yang sangat korporasi dan juga yang sangat dengan pelayanan publik," tuturnya, di Jakarta, Senin, 29 November.

Karena itu, Erick pun mengingatkan agar rumusan visi misi perseroan harus didasarkan pada transformasi Kementerian BUMN. Setidaknya lima program utama yang harus direalisasikan BUMN dalam rentan waktu 2 tahun ke depan.

Adapun kelima program yang dimaksud yakni transformasi digitalisasi yang dilakukan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Telkomsel Tbk. Salah satunya, peluncuran 5G Mining yang merupakan hasil kolaborasi antara PT Freeport Indonesia dan Telkom.

Kedua, transformasi energi baru terbarukan (EBT) yang digodok PT PLN (Persero). Di sektor ini, PLN akan menggarap pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) berkapasitas 20,09 gigawatt (GW) pada 2025.

"Ketiga, transformasi di sektor pertambangan yang dilakukan Holding BUMN Pertambangan. Keempat, industri pariwisata yang menjadi fokus PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) sebagai payung dari Holding Pariwisata dan Pendukungnya," tuturnya

Terakhir adalah transformasi di sektor pangan. Menurut Erick, Indonesia sebagai negara agraris yang seyogyanya menjadi ekosistem atau lumbung pangan dunia. Namun, kondisi saat ini justru memperlihatkan Indonesia kerap melakukan impor pangan.

Menurut dia, hal tersebut hanya menjadikan pekerja industri, petani, peternak, hingga perkebunan sebagai objek pembangunan saja. Padahal, kelompok tersebut seharusnya menjadi subjek dalam rantai pasok pangan. Ia pun mengungkapkan kekesalannya sebagai orang yang hidup di negara agraris tapi impor pangan terus.