Politikus PPP Sebut Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 Berpotensi Fasilitasi Perbuatan Zina dan Perilaku Menyimpang Seksual
JAKARTA - Anggota Komisi X DPR, Illiza Sa'aduddin Djamal, meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengevaluasi kembali Permendikbud Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
"Sebaiknya Permendikbud itu dievaluasi kembali atau dicabut karena peraturan ini secara tidak langsung dapat merusak standar moral mahasiswa," kata Djamal dalam keterangannya yang diterima di Banda Aceh, Aceh, dilansir Antara, Senin, 9 November.
Menurut dia, Permendikbud itu perlu dievaluasi karena dinilai akan berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku menyimpang seksual, di antaranya LGBT.
Baca juga:
- Tanggapi Polemik Permendikbud Ristek, MUI: Hubungan Seksual Suka Sama Suka Tanpa Perkawinan Statusnya Ilegal
- Multitafsir, DPR Minta Nadiem Makarim Revisi Permendikbud Ristek Nomor 30/2021
- Permendikburistek Nomor 30/2021 Dinilai Bermasalah, Komisi X DPR Panggil Menteri Nadiem Makarim
- Pak Nadiem, Legislator PKS Sebut Permendikbudristek 30/2021 Sarat Nilai Liberalisme Jauh dari Pancasila
Ia memandang dalam peraturan itu, standar benar dan salah aktivitas seksual tidak lagi berdasar pada nilai-nilai agama dan prinsip ketuhanan yang maha esa, namun hanya berdasarkan pada persetujuan para pihak.
"Ini dapat berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, di mana nanti penyimpangan menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah," ujar dia.
Ia menegaskan, Permendikbud Nomor 30/2021 itu juga bertentangan dengan visi pendidikan terutama pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Hal itu, untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur sesuai dengan perundang-undangan.
Karena itu, Illiza meminta Kemendikbudristek dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap hati nurani publik, terutama berbagai unsur penyelenggara pendidikan tinggi.
"Ini penting karena dengan mengakomodasi perasaan publik maka peraturan tersebut lebih mendapatkan perspektif baik dari masyarakat luas," kata dia.