China Tes COVID-19 di Hong Kong, Warga Khawatir DNA-nya Diambil
JAKARTA - China kirim tujuh orang tim medis ke Hong Kong untuk pengujian COVID-19. Rencananya akan ada 53 orang lagi yang akan dikirim ke sana untuk menggelar tes secara menyeluruh. Namun, hal itu memunculkan kekhawatiran masyarakat Hong Kong. Mereka takut tes dimanfaatkan untuk pengambilan DNA.
Melansir The Guardian, hari ini, inisiatif tersebut menandai pertama kalinya para pejabat kesehatan China daratan membantu Hong Kong dalam pengendalian COVID-19. Bantuan ini muncul di tengah meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat atas kehadiran China di kota semi-otonom tersebut.
Pasca menguatnya intervensi China di Hong Kong, pemerintah terlihat seperti semena-mena dalam mengambil keputusan. Pada akhir bulan lalu misalnya, Pemerintah Hong Kong menunda pemilu lantaran wabah COVID-19.
Yang disayangkan adalah keputusan itu diambil tanpa konsultasi dengan para ahli dalam menurunkan aturan hukum. Tindakan tersebut menurut Asosiasi Pengacara setempat mengkhawatirkan dan menimbulkan keraguan serius tentang dasar hukum.
"Alih-alih mematuhi ketentuan tegas dari Undang-Undang Dasar, Pemerintah HKSAR secara efektif mengundang Pemerintah Pusat untuk mengesampingkan ketentuan yang relevan. Baik dari Undang-Undang Dasar maupun legislasi Hong Kong untuk menghindari kemungkinan tantangan hukum," katanya. Menurut mereka hal ini bertentangan dengan prinsip legalitas dan kepastian hukum di Hong Kong.
Hong Kong telah melaporkan sekitar 3.500 kasus COVID-19 dan 34 di antaranya meninggal dunia sejak Januari. Jumlah tersebut jauh lebih rendah daripada jumlah kasus COVID-19 di kota metropolitan lainnya di dunia. Tetapi jumlah infeksi baru setiap hari adalah tiga digit selama 12 hari terakhir.
Anggota tim pengujian, yang dikoordinasi oleh pemerintah China, sebagian besar dari rumah sakit umum di Provinsi Guangdong, kata Komisi Kesehatan Nasional China.
Ketakutan Baru
Sementara itu, anggota dewan lokal Hong Kong mengatakan bahwa beberapa warga setempat takut bahwa China akan memanfaatkan pemeriksaan untuk mengambil DNA mereka. Sampel DNA tersebut dapat digunakan sebagai keperluan pengawasan.
Namun pemerintah wilayah membantah klaim tersebut. Mereka mengatakan bahwa pengujian virus hanya akan dilakukan di kota dan sampel tidak akan dibawa ke China daratan.
Pada Juni, Beijing memberlakukan Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional yang kontroversial di Hong Kong. UU tersebut dibuat untuk mengatasi apa yang China definisikan sebagai pemisahan diri, subversi dan kolusi dengan pasukan asing. Di bawah UU Keamanan Nasional, orang yang dianggap melakukan pelanggaran tersebut bisa dihukum seumur hidup di penjara.
Publik internasional mengeritik hal tersebut sebagai pelemahan otonomi Hong Kong. Padahal ketika Inggris mengembalikan kota ini ke China pada 1997 formula "satu negara, dua sistem" telah dijamin.
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam mengatakan pihaknya telah meminta bantuan dari China daratan karena jumlah kasus COVID-19 yang muncul semakin banyak. Dia mengatakan pemerintah sedang mempelajari apakah semua orang di Hong Kong dapat diuji.
Setelah lonjakan kasus COVID-19 yang ditransmisikan secara lokal pada Juli, wilayah itu memberlakukan pembatasan termasuk membatasi pertemuan untuk dua orang. Otoritas Hong Kong juga mewajibkan penggunaan masker di seluruh ruang publik.
Baca juga:
Pada Jumat 31 Juli, Otoritas Hong Kong mengklaim gelombang kasus baru telah memaksanya untuk menunda pemilihan Dewan Legislatif (LegCo) yang dijadwalkan akan digelar 6 September. Penundaan tersebut dituding sebagai penekanan demokrasi dengan kedok pandemi COVID-19. Penundaan pemilu terjadi sehari setelah 12 kandidat pro-demokrasi, termasuk beberapa petahana, didiskualifikasi dari pencalonan.
Mengakui bahwa hal itu bertentangan dengan mini-konstitusi Hong Kong, Hukum Dasar, perpanjangan jangka waktu LegCo saat ini melampaui empat tahun, Carrie Lam mengatakan kepada bahwa dia telah meminta China untuk campur tangan.