Beda Pandangan Menteri Soal Desa Fiktif
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Teka-teki desa fiktif atau desa siluman belum terpecahkan setelah beberapa pekan bergulir. Desa tersebut diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk merujuk wilayah yang mengajukan daftar bantuan dana desa tapi jumlah penduduknya tidak wajar.

Untuk mengungkap desa fiktif ini, Komisi V DPR menggelar rapat dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes-PDTT) Abdul Halim Iskandar, hari ini, Selasa 19 November.

Saat ditemui di sela-sela rapat, Abdul Halim membantah adanya desa fiktif seperti yang diungkap Sri Mulyani Indrawati. Dia menegaskan, tidak ada desa tidak berpenduduk yang menerima dana desa.

"Saya tidak pernah mengiyakan adanya desa siluman. Dalam perspektif Kemendes, kami pantau semua dan pelaporan dana desa itu sudah berjalan. Tidak ada satu pun desa yang tidak bertanggung jawab," kata Abdul Halim. 

Saat disinggung mengenai strategi Kemendes untuk menyiasati desa fiktif agar tidak menjadi beban negara, Abdul Halim mengatakan, tak menjelaskan apapun. Sebab, dia berkeyakinan, desa fiktif tak pernah ada.

 Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes-PDTT) Abdul Halim Iskandar di sela rapat dengan Komisi V DPR, Selasa, 19 November (Mery Handayani/VOI)

Abdul Halim juga akan mengklarifikasi ke Sri Mulyani tentang keberadaan desa fiktif ini sekaligus rencana pembekuan dana desa sebagai dampaknya. 

"Saya klarifikasi dulu. Saya belum bisa komentar karena belum mendengar Bu menteri bilang begitu," tuturnya.

Perlunya verifikasi

Buntut desa fiktif ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta desa melakukan verifikasi ulang. Dia mencontohkan, desa terdampak lumpur Lapindo, di Sidoarjo masih tercatat di kementeriannya, meski wilayah nyatanya sudah hilang tertimbun lumpur..

Dia juga ini meminta, Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, tak bikin pernyataan sendiri-sendiri terkait desa fiktif. Tito meminta mereka mengecek data secara langsung ke lapangan.

"Saya kira jangan setiap instansi yang membuat pernyataan sendiri yang beda-beda, saya minta untuk koordinasi ke Kemenkeu khususnya Dirjen Anggaran, kemudian Kemendes yang turun ke lapangan," ujar Tito Karnavian di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 18 November.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di sela rapat dengan DPD, di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 18 November (Mery Handayani/VOI)

Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Nata Irawan menyatakan, sebanyak empat desa yang belakangan dikatakan fiktif, sebenarnya ada dan sah sebagai desa secara historis dan sosiologis. Dia meminta penyebutan istilah desa fiktif harus dihilangkan dan diganti dengan tidak jalannya kelembagaan desa karena adanya Perda yang cacat hukum.

Empat desa itu adalah Desa Arombu Utama, Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma, Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau, Kecamatan Routa, dan Desa Napooha, Kecamatan Latoma. Hasil invesitgasi Kemendagri, aktivitas pemerintahan di empat desa tersebut tidak berjalan dengan baik. Karena kepala desa dan perangkat tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Bahkan, Kemendagri juga menemukan persoalan lainnya yakni, adanya kesenjangan antara kepala desa beserta perangkatnya terhadap penghasilan yang diterima pendamping lokal desa yang notabene tidak banyak membantu dan tidak selalu hadir di lapangan.

Nata juga mengatakan, laporan timnya juga mendapati data kepala daerah yang tidak melakukan pembinaan secara menyeluruh terkait dengan tata kelola pemerintahan desa. Untuk mengatasi hal tersebut, Kemendagri segera mengirimkan surat edaran untuk melakukan penataan ulang secara menyeluruh terhadap desa.

Kemunculan desa fiktif

Dugaan adanya desa siluman disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama antara Komisi XI DPR, Senin 4 November. Dalam rapat itu, Sri Mulyani mengungkapan bahwa ada laporan terkait desa fiktif tersebut. Dia mengatakan desa tersebut mendapat jatah dana desa, namun nyatanya tak berpenduduk.

Sri Mulyani pun memaparkan beberapa indikator yang menunjukkan fiktif atau tidaknya sebuah desa. Menurut dia, salah satu cirinya adalah ketika desa tersebut memiliki jumlah penduduk di bawah 100.

Adapun tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran dana desa mencapai Rp 70 triliun. Realisasi hingga 30 September 2019 mencapai Rp 42,2 triliun atau 62,9 persen. Dengan besaran dana tersebut, dengan sekitar 74.000 jumlah desa di seluruh Indonesia, rata-rata masing-masing desa akan mendapatkan dana transfer senilai Rp 900 juta per tahun.

Adapun tahun depan, pemerintah meningkatkan anggaran dana desa menjadi Rp 72 triliun, dan ada pula anggaran untuk kelurahan sebesar Rp 3 triliun untuk 8.212 kelurahan.

Kemenkeu juga akan memberhentikan penyaluran Dana Desa ke desa fiktif secepatnya. Bahkan hal ini akan dilakukan pada tahap akhir pencairan dana desa atau sebelum akhir tahun ini.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 225 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, pencairan dana desa dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I sebanyak 20 persen dari Januari-Juni, tahap II sebanyak 40 persen sejak Maret-Juni, dan tahap III paling cepat Juli.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pihaknya tak segan mencabut anggaran dana yang telah ditransfer kepada sejumlah desa tak berpenghuni alias desa siluman.

"Kalau ada daerah yang ketahuan ada dana desa yang ternyata desanya tidak legitimate, kita bekukan. kalau sudah terlanjur transfer ya kita ambil lagi, melalui siapa? ya pemerintah daerahnya dong," ujar Sri Mulyani.