Bacakan Pembelaan, Mardani Memohon Dibebaskan Setelah Didakwa Terima Suap Rp 118 Miliar 
Mardani H Maming saat menyampaikan nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Banjarmasin yang diikutinya secara virtual dari Gedung KPK, Rabu (25/1/2023). (ANTARA)

Bagikan:

BANJARMASIN - Terdakwa mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan Mardani H Maming memohon dibebaskan dari segala tuntutan jaksa, baik dakwaan pertama maupun dakwaan kedua saat menyampaikan pledoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin.

Mardani Maming sebelumnya didakwa menerima dana sebanyak total Rp 118 miliar lewat pembayaran tunai dan transfer, setelah membantu peralihan IUP batu bara dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) ke PT PCN.

Perkara korupsi yang menjerat Mardani H Maming sebagai pengembangan kasus terpidana eks Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo, yang telah divonis 2 tahun penjara.

"Kami mohon agar kiranya majelis hakim dengan segala kebijaksanaan dan kewibawaannya berkenan menjatuhkan putusan bebas dan merehabilitasi nama baik terdakwa serta mengembalikan semua hak, harkat dan martabat terdakwa seperti semula," kata Abdul Qodir, penasihat hukum terdakwa Mardani H Maming saat membacakan pledoi dikutip ANTARA, Rabu 25 Januari.

Menurut dia, tuntutan jaksa tidak sesuai dengan fakta persidangan yang dengan jelas dan terang menunjukkan bahwa terdakwa tidak bersalah sebagaimana yang didakwakan.

Adapun SK Peralihan IUP adalah sah secara hukum karena SK Bupati No 296/2011 juga ditembuskan kepada Menteri ESDM dan jajarannya, Gubernur Kalimantan Selatan dan jajarannya.

Bahkan SK tersebut mendapatkan status Clean and Clear (CnC) sebagaimana diumumkan dalam pengumuman CnC Tahap III di nomor urut 169, kemudian diperpanjang berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor: 188.48/265/DPMPTSP/IV/2017 tentang Persetujuan Perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batu Bara kepada PT Prolindo Cipta Nusantara di Kabupaten Tanah Bumbu tanggal 21 April 2017.

Kemudian berkaitan penerimaan sejumlah uang yang diterima PT TPS maupun PT PAR dari PT PCN bukan sebagai penerimaan hadiah yang berkaitan dengan penandatanganan SK Bupati No 296/2011, melainkan hasil dari hubungan bisnis atau keperdataan murni berkaitan kerjasama pengelolaan pelabuhan PT ATU tahun 2012 hingga 2016.

Berkait terdakwa didakwa melakukan tindak pidana penyuapan yang berperan sebagai penerima suap, ditegaskan Qodir hanya orang naif saja yang melakukan pidana penyuapan dengan cara menagih melalui skema perbankan, dicatat dalam pembukuan keuangan dan membayar pajak yang timbul dari tagihan tersebut dan selanjutnya menyerahkan dokumen transaksi kepada pihak yang menuduhnya.

"Boleh dibandingkan dengan ratusan perkara pidana suap, dimana pola atau modusnya bayar tunai dan langsung agar tidak terendus aparat hukum," ujarnya pula.

Ironisnya lagi, kata dia lagi, almarhum Henry Soetio selaku pemilik PT PCN yang didudukkan perannya sebagai pemberi suap tidak dapat diminta keterangannya baik sebagai saksi atau tersangka karena telah meninggal dunia pada 19 Juli 2021.

Namun sangat disayangkan, Penuntut Umum KPK justru menciptakan beberapa peran pengganti untuk bercerita dan membuktikan seolah-olah sudah terjadi penyuapan.

"Dalam keterangan ahli disebutkan saksi yang tidak mengalami sendiri, tidak melihat sendiri dan tidak mendengar langsung maka kesaksiannya tidak memiliki nilai pembuktian," katanya lagi.

Sementara Mardani yang juga diberikan kesempatan ketua majelis hakim Heru Kuntjoro menyampaikan pembelaannya secara pribadi, mengaku dirinya telah mengikhtiarkan untuk meyakinkan majelis hakim bahwa sesungguhnya tuduhan kejahatan yang dialamatkan kepadanya adalah tidak benar.

"Saya sungguh tidak memohon apa pun, selain keadilan yang menjadi hak saya, mudah-mudahan putusan majelis hakim menjadi jawaban atas rangkaian doa yang senantiasa dilangitkan oleh ibunda tercinta," ujarnya pula.

Sedangkan JPU KPK yang dipimpin Budhi Sarumpaet menyatakan tetap pada tuntutannya, setelah diberikan kesempatan majelis hakim menanggapi.

Sidang berikutnya dengan agenda putusan dijadwalkan pada Jumat 10 Februari mendatang.

Pada sidang sebelumnya, JPU KPK menuntut Mardani H Maming pidana penjara 10 tahun enam bulan. Terdakwa juga didenda Rp 700 juta subsider kurungan pidana pengganti delapan bulan.

JPU menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan alternatif pertama.

JPU juga menuntut pidana tambahan agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 118.754.731.752. Dengan ketentuan apabila tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Namun jika tidak juga memiliki harta benda, maka terdakwa dijatuhi pidana lima tahun.