JAKARTA - Eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dituntut delapan tahun penjara karena dinilai terbukti menerima suap sejumlah Rp600 juta dari kader PDI Perjuangan Saeful Bahri bersama mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina. 

Suap tersebut diberikan agar Wahyu mengusahakan KPU memilih caleg PDIP, Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI lewat pergantian antar waktu (PAW).

Selain dituntut delapan tahun penjara, Wahyu juga dituntut denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.

"Menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan. Satu, menyatakan Terdakwa I Wahyu Setiawan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi," seperti dikutip dari surat tuntutan JPU KPK yang dibacakan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 3 Agustus.

Selanjutnya, JPU KPK juga menuntut Wahyu dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun terhitung sejak dia menyelesaikan hukuman pidana pokok.

Adapun hal yang memberatkan Wahyu adalah perbuatannya itu tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, berpotensi mencederai hasil pemilu yang merupakan hasil dari proses demokrasi, dan dia dianggap telah mengambil keuntungan dari perbuatannya.

Sementara hal-hal yang meringankan dia dianggap bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan dan telah mengakui kesalahan.

Tak hanya suap, Wahyu juga dinilai terbukti menerima gratifikasi uang sebesar Rp500 juta dari Sekretaris KPU Daerah (KPUD) Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo dalam proses seleksi calon anggota KPUD Provinsi Papua Barat periode 2020-2025.

Pengajuan justice collaborator ditolak

JPU menilai Wahyu tak layak ditetapkan sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama karena tidak memenuhi syarat. 

"Kami selaku Penuntut Umum menilai bahwa Terdakwa I tidak layak untuk dapat ditetapkan sebagai JC (Justice Collaborator) karena yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan sebagaimanann ditentukan dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2011," ungkap JPU dalam surat tuntutan tersebut.

Wahyu dianggap tak memenuhi syarat sebagai JC yaitu bukan pelaku utama dan bersikap kooperatif. Sebab, dari fakta persidangan yang ada Wahyu merupakan pelaku utama dalam penerimaan suap dari Saeful Bahri terkait permohonan PAW dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Selain itu, dia juga dinilai jadi pelaku utama dalam penerimaan uang dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Papoyo.

Lebih lanjut, JPU KPK juga menilai Wahyu tidak kooperatif karena tidak membuka keterlibatan pihak lain dan cenderung berbelit serta memberikan sejumlah bantahan di dalam persidangan.

Adapun bantahan yang dimaksud adalah mengenai uang yang diterimanya dari Saeful Bahri disebutnya, tak terkait dengan surat permohonan pergantian caleg Harun Masiku di KPU RI sedangkan uang yang ditransfer Rosa Muhammad adalah untuk bisnis properti.

"Di mana bantahan-bantahan tersebut sama sekali tidak beralasan dengan keterangan saksi-saksi maupun alat bukti lain," tulis surat tuntutan tersebut.

Atas perbuatannya itu, Wahyu kemudian dinilai telah melanggar Pasal 12 a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)