Eksklusif Ketum Apsifor Reni Kusumowardhani, Ungkap Misteri Kematian Satu Keluarga di Kalideres
Ketua Umum Apsifor Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog tidak menemukan indikasi pembunuhan dalam kematian satu keluarga di Kalideres. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)

Kematian satu keluarga di Kalideres, Jakarta Barat belum lama ini menjadi perhatian banyak pihak. Tanpa diketahui tetangga dan aparat setempat, empat orang penghuni rumah meninggal satu persatu dalam kurun waktu tertentu. Menurut Ketua Umum Apsifor (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia) Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog mereka tidak menemukan indikasi pembunuhan dalam kematian ini.  Lalu apa yang membuat keempat jenazah satu per satu meregang nyawa?

***

Bertepatan dengan peringatan hari Pahlawan 10 November 2022, warga perumahan Citra Garden Kalideres, Jakarat Barat, dihebohkan dengan  temuan 4 jasad yang membusuk di dalam rumah. Menurut keterangan kepolisian, terdapat 4 jasad yang terdiri dari 2 laki dan 2 perempuan. "Kondisinya sudah membusuk," kata Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat, Kompol Haris kepada wartawan termasuk VOI, dalam keterangan resmi pada Jumat, 11 November.

Setelah diidentifikasi keempat jenazah itu adalah Rudyanto Gunawan (71 tahun), Renny Margaretha Gunawan (68 tahun) istri Rudy, Dian Febbyana Apsari Dewi (42 tahun) -- anak Rudy-Renny, dan Budyanto Gunawan (68 tahun) -- adik Rudy.

Berita soal sebab-sebab kematian ini awalnya simpang-siur. Namun setelah polisi melakukan penyelidikan dengan melibatkan berbagai pakar dan disiplin ilmu, seperti dokter forensik, laboratorium forensik, psikolog forensik dan sosiolog agama pelan-pelan ditemukan titik temu penyebab kematian keempat jenazah tersebut.

Menurut Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog dari Apsifor, sebab-sebab kematian keempat jenazah itu setelah diteliti para pakar dari berbagai disiplin keilmuan terdapat persesuaian. “Dari yang kami temukan dan juga ahli lain yang terlibat, dapat disimpulkan bahwa kematian mereka natural atau wajar. Jadi kematian mereka itu wajar, dalam situasi yang tidak wajar. Dan tidak dijumpai tanda-tanda pembunuhan dan upaya bunuh diri,” jelasnya.

Kesimpulan ini membantah semua spekulasi yang sempat berkembang soal sebab-sebab keempat jenazah itu meregang nyawa satu demi satu hingga membusuk dan menyebarkan bau tak sedap di sekitar perumahan.

Karena tidak ditemukan unsur pidana dalam kematian ini, menurut Reni, kasus ini tidak bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya. “Berdasarkan keterangan Ditreskrimum tidak cukup data dan bukti untuk melanjutkan kasus ini. Jadi kasusnya ditutup, begitu penegasan Pak Hengki Haryadi, Ditreskrimum Polda Metro Jaya,” tukasnya.

Namun dari peristiwa ini, menurut Reni Kusumowardhani bisa menjadi pelajaran dan pukulan untuk semua pihak. Bahwa kepedulian pada tetangga teryata masih harus ditingkatkan. “Kita sebagai manusia moderen yang sangat sibuk, kadang lupa memerhatikan tetangga. Ini seperti mengingatkan kita semua, kalau dari awal ada yang masuk atau melihat hal berbeda di dalam rumah, kasus ini tidak akan seperti ini,” katanya kepada Edy Suherli dari VOI yang mewawancarainya melalui aplikasi Zoom belum lama berselang. Ia memaparkan manner of death keempat jenazah, urutan kematian dan mengapa mereka begitu kuat untuk tidak mengabarkan kabar duka itu kepada dunia luar; saudara, tetangga dan pejabat setempat. Inilah petikan selengkapnya.

Dari peristiwa kematian satu keluarga di Kalideres kata Ketua Umum Aspifor  Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog bisa dipetik pelajaran, kepedulian pada tetangga harus ditingkatkan. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)
Dari peristiwa kematian satu keluarga di Kalideres kata Ketua Umum Apsifor Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog bisa dipetik pelajaran, kepedulian pada tetangga harus ditingkatkan. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)

Tewasnya  satu keluarga di Kalideres Jakarta Barat menyita perhatian publik, seperti apa Anda menjelaskan kejadian ini?

Keterlibatan saya dan tim psikolog forensik bermula ketika polisi meminta kepada Apsifor  untuk meneliti apsek kematian dalam kasus ini dari sisi psikologi forensik. Kasus ini menyedot perhatian banyak pihak di Indonesia dan juga mancanegara.  Banyak sekali spekulasi yang muncul tanpa mendasarkan pada penelitian atau data-data. Ditreskrimum meminta kami terlibat dalam kasus ini. Selain itu terlibat juga laboratirum forensik, dokter forensik dan sosiolog agama. Masing-masing bekerja sesuai kaidah keilmuannya. Ternyata dari masing-masing bidang keilmuan yang terlibat hasilnya bersesuaian.

Dari Apsifor membentuk  tim yang anggotanya 7 orang. Kami dituntut untuk kerja cepat, padahal psikologi itu menganalilis sesuatu yang tak terlihat. Dari 7 orang itu ada yang ke TKP (tempat kejadian perkara), soalnya dari TKP itu bisa bicara banyak tentang orang atau peristiwa yang jadi yang berhubungan dengan orang-orang yang hidup di TKP tersebut.

Selain itu kami juga mempelajari bagaimana situasi empat orang yang meninggal itu saat pertama kali ditemukan. Bagaimana posisi jenazah dan apa saja yang ada di sekitar jenazah. Dari temuan itu kami melakukan interpretasi. Kami mengambil barang bukti yang sudah ada di polisi. Kami juga melakukan wawancara yang bersifat penelitian retrospektif yaitu menarik mundur pada kehidupan mereka semasa hidup. Dari situ kami menganalisis pola kepribadian masing-masing yang meninggal dunia yaitu Rudyanto Gunawan (71 tahun), Renny Margaretha Gunawan (68 tahun) istri Rudy, Dian Febbyana Apsari Dewi (42 tahun) -- anak Rudy dan Renny, dan Budyanto Gunawan (68 tahun) -- adik Rudy.

Anda  mengukur kepribadian mereka, dengan cara apa?

Karena orang yang meninggal itu berkaitan juga dengan perilakunya, baik yang wajar atau yang tidak wajar. Kami melakukan identifikasi masa kecil, remaja, saat dewasa dan juga sebelum mereka meninggal dunia. Kami bertemu banyak orang yang mengenal korban secara langsung. Lalu kami melihat TKP setelah diketahui korban meninggal dunia.

Pertama, dalam psikologi forensik yang kami lihat adalah manner of death-nya seperti apa. Bagaimana cara kematian mereka, apa yang terjadi dalam kematian mereka. Kedua karena korbannya lebih dari satu, kami juga membuat urutan waktu kematian dari keempat orang itu berdasarkan data-data barang bukti yang ada di TKP, foto korban saat ditemukan sampai informasi dari orang terdekat yang signifikan.

Dari penampakan rumah, pagar depan hingga dalam rumah bisa dikemukakan seperti apa kepribadian mereka?

Kita bisa menjelaskan bahwa orang-orang yang hidup di dalam rumah itu ingin privasi yang lebih dengan menjaga jarak dengan orang di sekitar. Dari warna pagarnya juga bisa diketahui apakah orangnya konvensional atau kekinian. Lalu TKP saat pertama ditemukan petugas terkunci dari dalam dan tak ditemukan kerusakan pintu. Ini penunjukkan makna perilaku mereka. Artinya apa yang terjadi di dalam rumah itu tidak ada campur tangan pihak luar.

Lalu perlakuan terhadap jenazah juga berbeda satu dengan yang lain. Yang satu dirawat (Renny Margaretha Gunawan) yang satunya (Rudyanto Gunawan) dibiarkan di samping jenazah yang dirawat.  Dan satu lagi di ruang tengah (Budyanto Gunawan) seperti orang yang sedang nonton tv atau santai. Dari posisinya tidak ada tanda kalau dia sengaja untuk bunuh diri.

Menurut Ketua Umum Aspifor  Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog keempat anggota keluarga yang meninggal di Kalideres tidak mengikuti ajaran atau sekte agama tertentu. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)
Menurut Ketua Umum Apsifor Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog keempat anggota keluarga yang meninggal di Kalideres tidak mengikuti ajaran atau sekte agama tertentu. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)

Jadi apa yang ditemukan di sekitar TKP “bicara” banyak tentang apa yang dilakukan mereka semasa hidup?

Apa yang ada di TKP di sekitar jenazah bicara banyak untuk perilaku mereka semasa hidup. Setelah itu baru kita meneliti barang bukti yang ada. Di sana ada buli-buli, ini artinya mereka itu semasa hidup mempercayai hal-hal yang bersifat supranatural. Ada lagi mantra-mantra yang isinya berupa doa-doa. Dari situ kita juga meneliti. Ternyata doa-nya itu tentang permohonan kesembuhan dan  mendapatkan kesejahteraan hidup. Artinya mereka sedang berusaha meraih kesehatan dan kehidupan yang lebih baik. Kalau dalam situasi seperti ini bukan dalam keadaan ingin bunuh diri.

Lalu kami mencari data siapa itu Ridyanto itu, dilahirkan dari keluarga yang seperti apa. Begitu juga untuk Renny, Dian dan Budy. Akhirnya kami sampai pada kesimpulan soal tipologi kepribadian mereka.

Lalu dari barang bukti ditemukan juga ada transaksi; pembelian dan penjualan. Ada juga rekening bank yang terus berkurang dari waktu ke waktu. Ada juga interaksi dengan pihak luar; broker rumah, petugas jumantik, pembeli mobil, AC, dll. Jadi mereka masih membutuhkan dana yang besar untuk mempertahankan hidupnya dan kesehatan, tapi tidak dengan cara medis.

Tadi Anda bilang ada persesuaian hasil antara beberapa ahli yang dilibatkan, bisa diuraikan soal ini?

Ada persesuaian dalam hal manner of death dari keempat orang itu. Kami tidak menjumpai data atau petunjuk yang signifikan kalau ini adalah pembunuhan. Mulai dari orang pertama, kedua, ketiga dan keempat meninggal. Baik dari ciri kepribadian maupun cara interaksi mereka.

Apa benar kalau mereka ini mengikuti sekte atau aliran keagamaan tertentu?

Sebenarnya bukan sekte. Karena tidak ditemukan doa atau jampi-jampi khusus, seperti sekte tertentu yang meyakini sesuatu yang khusus. Mereka ini bukan beragama Islam, tapi doa yang ditemukan itu doa versi agama Islam untuk kesejahteraan. Doa itu mereka percaya bisa membuat mereka sembuh dan bisa lebih baik.

Salah satu dari keempat orang ini, sejak SMA sudah menyukai hal-hal yang bersifat supranatural (Budyanto). Dan itu bersesuaian dengan karakter kepribadiannya. Satu orang ini bisa memengaruhi anggota yang lain untuk mengikuti caranya dia.

Jadi tidak dijumpai afiliasi ke aliran atau sekte keagamaan tertentu?

Dari data yang kami kumpulkan di TKP tidak menemukan hal itu. Tidak ada juga paham apokaliptik yang sebelumnya sempat beredar. Soalnya paham ini beranggapan bahwa dunia ini akan (segera) berakhir sehingga mereka tak berpikir duniawi lagi. Sedangkan mereka masih ikut vaksin, jual barang, beli makanan, dll. Artinya spekulasi soal apokaliptik itu menjadi jauh.

Apa yang membuat mereka bertahan sampai akhirnya tewas satu demi satu?

Yang membuat bertahan adalah harapan hidup, soalnya kalau Tuhan itu kalau berkehendak pasti akan jadi. (Dalam Islam ada istilah Kun Fa Yakun, Ketika Allah berkehendak maka terjadilah). Selain itu yang membuat mereka bertahan, mereka ini dekat sekali dan saling memperhatikan satu sama lain. Menurut keluarga, mereka berempat ini sudah seperti itu sudah sepaham. Mereka pun pindah dari rumah keluarga untuk terus bersama dan menetap di Kalideres.

Bagaimana hubungan keempat orang ini dengan anggota keluarga besar?

Sebelum pindah dari rumah keluarga, Rudy dan istrinya serta adiknya: Budy yang menjaga orang tua. Tahun 2003 setelah bapak ibunya Pak Rudy meninggal, mereka pindah ke Kalideres. Sebelum pindah itu Rudy dan Budy itu sudah merasa bersalah karena orang tuanya meninggal karena jatuh dari kamar mandi. Mereka merasa bersalah dan kemudian memisahkan diri dari keluarga. Akhirnya menyendiri dan tidak ada kontak dengan keluarga lain. Terakhir kontak dengan keluarga besar saat membagi warisan keluarga. Setelah itu tidak ada kontak lagi.

Karena tidak ditemukan unsur pidana dalam kasus ini bagaimana kelanjutan proses hukum?

Karena manner of death-nya natural proses hukumnya dihentikan. Tidak ditemukan unsur pidana dalam kematian mereka. Kami mengidentifikasi mereka ini ada penyakit tertentu. Tapi saya tidak bisa jelaskan karena saya bukan dokter. Riwayat keluarga mereka ada yang meninggal karena sakit. Setelah Rudy dan Renny meninggal dia diduga juga stress karena jadi orang tertua di rumah itu dan harus melindungi Dian (keponakanya). Sementara sumber daya terus menipis.  Kondisi bisa memicu penyakit lain. Dan ternyata ini bersesuaian dengan keterangan dokter kalau Pak Budy meninggal karena serangan jantung.

Lalu mengapa Bu Dian tidak memakamkan ibunya, karena dia sangat sayang dengan ibunya. Sehingga meski sudah meninggal tetap dibersihkan, dirawat dan seterusnya. Dia membangun keyakinan dalam diri dia kalau ibunya masih hidup, padahal sudah wafat. Bagaimana pun hidup dengan mayat, dan makan tidak bergizi makin memperburuk keadaan. Basic-nya Bu Dian itu bukan tipe pengambil keputusan, dia selalu bergantung pada orang di rumahnya yang sudah meninggal semua. Dia tetap tidak ingin bunuh diri sampai akhirnya dia pun tutup usia.

Dari semua itu  yang kami temukan dan juga ahli lain yang terlibat, dapat disimpulkan bahwa kematian mereka natural atau wajar. Jadi kematian mereka itu wajar, dalam situasi yang tidak wajar. Dan tidak dijumpai tanda-tanda pembunuhan dan bunuh diri. Oleh Ditreskrimum karena tidak cukup data dan bukti untuk melanjutkan kasus ini. Jadi kasusnya ditutup itu menurut penegasan Pak Hengki Haryadi, Ditreskrimum Polda Metro Jaya.

Dari kasus meninggalnya 4 orang di Kalideres ini apa yang bisa kita petik pelajaran?

Kita sebagai manusia moderen yang sangat sibuk, kadang lupa memerhatikan tetangga. Ini seperti mengingatkan kita semua, kalau dari awal ada yang masuk atau melihat hal berbeda ini tidak akan terjadi. Di luar karakter mereka juga tidak terbuka dengan tetangga. Seperti di Jawa Tengah melalui Pak Ganjar Pranowo ada program Jogo Tonggo, artinya kita menjaga tetangga masing-masing. Kepedulian ini yang kurang dari kita semua. Bukan berarti harus usil dengan tetangga ya. Cuma ingin tahu saja, kalau tetangganya baik-baik saja ya cukup. Rasanya teknologi sudah memudahkan kita untuk mengetahui tetangga kiri dan kanan kita agar peristiwa tragis ini tidak terjadi. 

Reni Kusumowardhani, Telanjur Sayang dengan Psikologi Forensik

Boleh percaya atau tidak, ternyata Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog merasa terjerumus menekuni psikologi forensik, tapi akhirnya dia senang. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)
Boleh percaya atau tidak, ternyata Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog merasa terjerumus menekuni psikologi forensik, tapi akhirnya dia senang. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)

Dari belia Dra. Reni Kusumowardhani, M.PSI., Psikolog yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Apsifor (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia) sudah bercita-cita menjadi seorang psikolog. Namun ia belum terbayang akan “terperosok” ke psikologi forensik seperti sekarang. Semakin mendalami psikologi forensik, Reni semakin cinta dan kini sudah tak bisa lepas dari cabang ilmu psikologi ini.

“Sejak SMP saya sudah suka dengan psikologi. Saya membaca buku psikologi dan ikut mendengarkan ceramah soal psikologi. Saya meneruskan ke jenjang SMA di Yogyakarta dan sudah punya rencana untuk menimba ilmu di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM),” kata perempuan kelahiran Jakarta, 14 Juni 1964 ini.

Lulus dari UGM tahun 1988 Reni membuka praktek psikologi dan bertahan hingga saat ini. “Sejak pertama buka praktik saya tak pernah berhenti hingga sekarang,” ungkap pendiri Konsultan Psikologi & Pusat Kajian Perilaku Kusumowardhani ini.

Di tahun 1994 dia diminta oleh polisi untuk menyelidiki kasus pembunuhan di sebuah keluarga. Terduga pelaku pembunuhan membantai 7 anggota keluarganya. “Saya bingung dapat kasus seperti itu. Ketika itu psikologi forensik belum populer. Apa yang harus dilakukan menghadapi kasus itu,” kenang perempuan yang melanjutkan S2 di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.

Reni pun mencari tahu ke sana ke mari agar ia bisa memenuhi permintaan polisi ikut menangani kasus tersebut. “Saya berterima kasih kepada polisi yang memberikan kesempatan saya untuk belajar. Saat itu saya kerjakan semua kasus yang dikirim polisi. Saya tidak peduli hasilnya dipakai atau tidak,” lanjutnya.

Lama kelamaan Reni makin tertarik dengan dunia psikologi forensik karena dinamikanya yang luar biasa tinggi. “Dinamikanya amat tinggi. Dan begitu kita masuk ke dunia psikologi forensik kita tak boleh berhenti belajar. Yang membuat saya jatuh cinta dengan psikologi forensik ini kita dituntut untuk selalu meng-update pengetahuan,” kata perempuan yang berdomisili di Cilacap, Jawa Tengah ini.

Konsistensi Reni pada psikologi forensik memang sudah teruji. Ia justru makin dalam menekuni dunia psikologi forensik.  “Terus terang saya memang awalnya terperosok di psikologi forensik ini. Tapi saya senang dan penasaran. Sampai akhirnya keterusan hingga sekarang,” kata perempuan yang melanjutkan studinya di bidang Pendidikan Victimology TIVI di Tokiwa International Victimology Institute, Jepang.

Minati dan Cintami

Satu hal yang disuka  Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog setelah dia menekuni psikologi forensik, ia terpacu untuk selalu memperbarui pengetahuannya. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)
Satu hal yang disuka Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog setelah dia menekuni psikologi forensik, ia terpacu untuk selalu memperbarui pengetahuannya. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)

Reni Kusumowardhani menggambarkan seperti apa proses dirinya yang kini benar-benar pakar dalam dunia psikologi forensik ini.  “Memang untuk menekuni sesuatu itu harus diawali dengan minat dulu. Seperti saya yang awalnya meminati psikologi. Lalu terjerumus dan suka dengan psikologi forensik ini. Jadi setelah minati lalu cintami, kayak kakak adik deh,” katanya sembari bercanda.

Tahun 1998 Reni keluar masuk LP Nusa Kambangan untuk membuat layanan psikologi dan program psikologi. Namun kini dia memenuhi layanan psikologi secara rutin di sana, ia baru datang berdasarkan permintaan. “Soalnya sekarang sudah banyak psikolog yang khusus untuk melayani Lembaga Pemasyarakatan,” kata Reni yang riset-risetnya pun banyak berhubungan dengan psikologi forensik.

Menurut Reni dunia psikologi forensik itu seru sekali. “Kalau pernah membaca novel karya Agatha Christie atau novel petualangan Lima Sekawan (Enid Blyton), itu kan seru banget. Nah dunia psikologi forensik itu juga seru. Kira-kira serunya seperti itulah meski tidak sama persis ya,” ujarnya. Keseruan itu yang bikin Reni betah dan tak mau berpaling dari psikologi forensik.

Tertantang

Ke depan kata  Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog profesi sebagai psikologi forensik akan terus dibutuhkan. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)
Ke depan kata Dra. Reni Kusumowardhani M.PSI., Psikolog profesi sebagai psikologi forensik akan terus dibutuhkan. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga VOI)

Rasa penasaran Reni begitu tinggi saat mendapatkan sebuah kasus. “Kita mencoba untuk membuat suatu pemahaman tentang apa yang terjadi dari aspek psikologi forensik. Jadi curiosity dan adrenalin saya benar-benar tertantang,” akunya.

Dan ketika bisa ikut membuat terang suatu perkara yang sedang diselidiki polisi, ia merasa amat bahagia.  “Rasanya senang banget kalau bisa membantu membuat kesimpulan dari suatu perkara. Rasanya keilmuan saya benar-benar berfungsi. Ilmu yang saya tekuni selama ini bisa bermanfaat untuk kemaslahatan,” lanjutnya.

Dia menekankan kalau seorang psikolog dalam perkara hukum itu bersifat imparsial dan tidak berpihak pada siapa pun. “Kami berpihak kepada keadilan dalam sebuah kasus,” tukas Reni yang banyak berdiskusi dengan suaminya yang juga seorang psikolog.

Bahkan kini ia juga melibatkan anak-anaknya dalam beberapa kasus yang ia telusuri.  “Ternyata kita sekeluarga punya passion yang sama soal psikologi dan juga psikologi forensik,” lanjutnya. 

Kuncinya, lanjut Reni, jujur pada setiap data yang didapatkan saat melakukan penelusuran. “Jadi tidak ada data yang kita buang. Kecuali dalam analisis tidak bersesuaian dan tidak  mendukung,” tandasnya. “Kalau dalam suatu kasus sebagian menguntungkan pihak tertentu dan sebagian merugikan pihak yang lain, tujuannya bukan itu. Kami memberikan fungsi understanding kepada penegak hukum dari aspek psikologi forensik dan fungsi prediksi yang kami berikan kepada penegak hukum untuk mempertimbangkan sebuah keadilan,” kata Reni yang beruntung karena mendapat dukungan penuh dari suami dan anak-anaknya dalam menekuni psikologi forensik ini.

Ia sering menyosialisikan psikologi forensik ke kampus-kampus agar makin banyak yang berminat dengan psikologi forensik ini melalui seminar, workshop dan sebagainya. “Saya sering menjadi dosen tamu di kampus-kampus di seluruh Indonesia untuk memberi kuliah soal psikologi forensik. Ke depan saya yakin psikolog forensik akan makin banyak dilibatkan polisi dan penegak hukum dalam penanganan kasus. Ini semua adalah peluang bagi psikolog forensik,” kata Reni Kusumowardhani.

"Ada persesuaian dalam hal manner of death dari keempat orang itu. Kami tidak menjumpai data atau petunjuk yang signifikan kalau ini adalah pembunuhan. Mulai dari orang pertama, kedua, ketiga dan keempat meninggal. Baik dari ciri kepribadian maupun cara interaksi mereka,"

Reni Kusumowardhani


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)