JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menilai, tenun Karaja Sumba harus menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi.

Dengan nilai ekonomi tinggi, nantinya diharapkan produk tenun khas Nusa Tenggara Timur (NTT) itu bisa naik kelas.

Teten mengatakan, harga mahal yang dipatok nantinya bisa dilakukan melalui dua skema.

Pertama, mendorong produk tenun Sumba ke pasar ekspor.

Kedua, menarik peminat tenun untuk datang langsung ke Sumba, NTT.

"Jadi, Sumba mengunjungi dunia atau dunia mengunjungi Sumba. Sudah ada hotel yang bagus, tinggal kami kembangkan lagi resort untuk penduduk agar bisa menikmati keuntungan ekonomi. Sehingga, kain Sumba bisa menjadi oleh-oleh premium dari Sumba. Ini harus dihargai tinggi," ujar Teten dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 18 Desember.

Teten mengaku, harga mahal sebetulnya bukan jadi satu-satunya tujuan dirinya, melainkan dia ingin meningkatkan juga kualitas dari tenun Sumba sehingga bersaing di kancah global.

"Kami tahu tenun Sumba ini merupakan budaya yang luar biasa dan punya potensi ekonomi untuk dikembangkan. Selama ini, tenun itu sudah dikenal dunia. Kami harus terus kembangkan tenun ini sehingga mampu menjadi produk high end," katanya.

Dia menambahkan, saat ini tren industri fesyen dunia sedang mengarah ke kain yang memiliki nilai tinggi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

"Contohnya Dior pernah pakai kain tenun Geringsing Bali untuk produk unggulan mereka. Ini jadi potensi, kami sudah bicara dan bekerja sama dengan Sekolah Prancis bahkan New York, agar karya desainer kami bisa masuk pasar dunia. Ada momen yang bisa kami manfaatkan, saya optimistis bahwa batik dan tenun bisa masuk ke sana," ucap Teten.

Menurut Teten, berbicara mengenai pengembangan ekonomi, penenun erat juga kaitannya dengan pemberdayaan perempuan. Selain itu, hal ini juga dikatakan dapat menjadi sumber pemberdayaan ekonomi lokal.

Karaja Sumba sendiri menjadi produk yang sangat baik dan bernilai tinggi, karena menggunakan pewarna alami dan dapat menjadi produk green economy.

"Ini masuk ke peradaban modern, yang mana dunia sedang mengarahkan green economy yang lebih sustain. Ini penting karena dalam perdagangan dunia, produk dengan nilai-nilai seperti itu yang memiliki value lebih," tuturnya.

Pada kesempatan sama, Pengelola Karaja Sumba Roswita Asti Kulla mengatakan, kehadiran Karaja Sumba disebabkan keresahan dan kebingungan menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan budaya.

"Banyak mama-mama dari desa dipukul dan jadi korban kekerasan atau KDRT. Ternyata faktor ekonomi jadi salah satu penyebab yang paling kuat. Pendidikan dan ekonomi harus selaras kami percayai. Karaja percaya ini jadi solusi masalah sosial dan ekonomi. Kami punya kekayaan alam besar dan titah budaya yang tinggi yaitu tenun ikat," terangnya.

Asti menilai, Karaja menjadi tenun yang hampir punah karena transformasi manusia yang serba ingin instan. Oleh karena itu, dia berpikir untuk kembali memberdayakan pembuatan tenun Karaja.

"Saat ini, pelestarian budaya menenun telah kami mulai, dan akhirnya kami bergerak dan berjalan tiga tahun dengan lebih dari 100 penenun dan 40 persen usianya 19-40 tahun, sedangkan sisanya berusia 50-70 tahun. Sejak 2019 sampai saat ini kami berhasil mendapatkan Rp200 juta sampai Rp300 juta," jelas dia.

Sementara itu, Chief of Community & Parnership Krealogi Hanna Keraf mengatakan, Kemenkop UKM dan Krealogi akan membantu untuk menyiapkan permintaan bagi produk Karaja Sumba baik dari hotel maupun pihak lainnya.

Sebab, Hanna menilai produk Karaja Sumba sudah dipercaya oleh pembeli, yang mana dari hasil survei yang dilakukan, sebanyak 80 persen pembeli sudah tahu brand Karaja Sumba dan percaya dengan kualitas brand tersebut.

Adapun, lanjut dia, pihaknya bersama Kemenkop UKM akan segera membangun sistem produksi di 2024 dengan menggandeng mitra. Sehingga, bisa memberikan kontribusi terhadap perempuan Sumba Barat.

"Mimpi besar kami Karaja Sumba juga bisa menjadi agregator UMKM lainnya, ada sekitar 30 UMKM yang dapat bekerja sama dengan Karaja Sumba," pungkasnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)