Film Pendek Tilik Viral, Miliki Sisi Misoginis?
JAKARTA - Film pendek Tilik menjadi pembicaraan beberapa waktu belakangan. Meskipun film ini dibuat pada 2018 namun Ravacana Films selaku rumah produksi baru mengunggah film untuk publik secara resmi melalui YouTube pada 17 Agustus.
Tilik memiliki sejumlah aspek yang pantas diapresiasi. Mulai dari ceritanya yang dekat dengan keseharian serta akting para pemain yang merupakan wajah-wajah baru bagi masyarakat. Adapun salah satu pemeran, Siti Fauziah menjadi viral karena perannya sebagai Bu Tejo mencuri perhatian.
Tilik diceritakan tentang sekumpulan ibu-ibu di sebuah desa yang hendak menjenguk (tilik) bu lurah yang dirawat di rumah sakit. Bermodalkan pesan aplikasi kirim pesan, ibu-ibu ini pergi dengan sebuah truk.
Di tengah jalan, Bu Tejo - pemeran utama - memulai pembicaraan dengan menyebut Dian, si kembang desa yang perlu diwaspadai. Dian disebut-sebut tidak kunjung menikah karena terus-terusan didekati oleh para pria di desa.
Akhir film Tilik menunjukkan sisi lain yang tidak salah namun juga tidak benar dari apa yang Bu Tejo katakan. Hal ini meninggalkan sejumlah pertanyaan termasuk anggapan bahwa perempuan misoginis menjadi pion utama Tilik. Komentar ini kebanyakan dilontarkan laki-laki melalui media sosial.
Lebih lanjut, ada sebuah unggahan yang menganggap film Tilik seakan-akan menyetujui adanya budaya penyebaran hoaks akibat tingkah laku Bu Tejo yang berbicara tanpa adanya bukti yang dilihat oleh ibu-ibu lainnya.
Misoginis adalah sebuah istilah bagi seseorang yang membenci perempuan, baik dari pandangan seorang pria maupun sesama perempuan. Karena istilah ini, perempuan sering disebut sebagai penyebab sebuah kesalahan.
Salah satu unggahan yang viral bahkan menyebut Tilik melanggengkan istilah tersebut karena Bu Tejo dan ibu-ibu lainnya nampak merendahkan Dian dan kehidupan pribadinya.
Padahal jika melihat Tilik secara keseluruhan, mereka tidak seutuhnya memilih menjadi misoginis. Ada berbagai sudut pandang yang ditawarkan Tilik dalam jalinan ceritanya, salah satunya sosok Yu Ning yang selalu berpikiran positif.
Lalu tidak berhenti dari situ, tidak sedikit yang kecewa dengan akhir film Tilik di mana Dian digambarkan menjalani hubungan dengan mantan suami Bu Lurah. Secara langsung, sebuah stereotip beranggapan Dian adalah wanita simpanan.
另请阅读:
Dalam sejarah perfilman, wanita simpanan seringkali digambarkan seorang perempuan yang lebih muda menjalani hubungan dengan pria yang lebih tua. Karena sering melihat penampakan seperti ini, lantas tanpa sadar menganggap hubungan seperti ini sudah otomatis menitikberatkan sang perempuan sebagai simpanan.
Kalau ingin berspekulasi, kita bisa saja menganggap Dian dan sang kekasih belum siap untuk tampil publik mengingat ia adalah mantan suami Bu Lurah. Bisa juga terjadi karena Fikri menyukai Dian. Sejatinya, spekulasi adalah sesuatu yang wajar bagi penonton film yang merupakan efek dari cliffhanger.
Cliffhanger adalah tekhnik menggantung yang disematkan di akhir cerita. Hal ini membuat para penonton menerka-nerka identitas maupun kesimpulan cerita yang dibiarkan mengurai begitu saja.
Jika ingin menelaah, Bu Lurah dan sang suami sudah bercerai. Dian pun hanya mempertanyakan bagaimana cara Fikri dapat menerima dirinya sebagai calon ibu.
Selain itu tentang tidak adanya moralitas yang ditemukan dalam film Tilik. Tidak apa jika sebagian penonton tidak menemukan pesan moral dalam film tersebut. Lagipula film adalah produk hiburan yang berarti memang bertujuan untuk menghibur.
Jikalau penonton menemukan pesan, wajar saja. Ada pembuat film yang memang suka menyelipkan sisi moral. Namun pada intinya, semua orang memiliki interpretasi tersendiri terhadap apa yang mereka saksikan.
Salah satunya rasa terkaitan yang dimiliki penonton dengan Bu Tejo karena sosoknya bisa ditemukan pada keseharian. Begitu juga kegiatan bergosip yang dilakukan ibu-ibu desa. Nampaknya hal tersebut sangat berkaitan yang terlihat biasa terjadi. Namun kita juga bisa memilih untuk menganggap betapa akrabnya ibu-ibu di desa tersebut sampai peduli kepada perempuan dan Bu Lurah.
Seluruh bagian dari film memang kontekstual tetapi bukan berarti semua film harus memiliki arti khusus karena pada akhirnya film adalah produk hiburan. Seharusnya, film ini bisa dinikmati tanpa mengesampingkan permasalahan yang umum terjadi. Bagaimana menurutmu?