JAKARTA – Konflik di kawasan Timur Tengah makin panas usai Iran dan Israel berbalas serangan. Hal inilah yang membuat negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia harus bersiap menghadapi dampak global di tengah belum usainya perang Rusia dan Ukraina.
Seperti halnya perang Rusia dan Ukraina, konflik Iran dan Israel disebut akan berdampak terutama terhadap perekonomian Indonesia. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengungkapkan bahwa jika dampak perang Rusia-Ukraina ke ekonomi Indonesia lebih mengarah ke sektor pangan, maka perang Iran-Israel tentu lebih mengenai stabilitas harga minyak dunia.
“Dampak situasi ketidakpastian di tengah konflik yang bisa kita rasakan secara langsung adalah harga minyak dunia yang tentu memengaruhi harga BBM di tanah air,” ujarnya, Minggu 21 April 2024.
Dia berharap agar konflik Iran-Israel tidak berlangsung lama. Menurutnya, hal tersebut bisa terjadi karena saat ini para pihak yang ada di pusaran konflik tersebut memahami bahwa mereka terjebak di situasi “Mexican standoff”.
Fithra menjelaskan, istilah itu biasa dipakai untuk merujuk pada situasi ketika para pihak yang terlibat dalam satu konflik mengetahui posisi mereka sama-sama kuat dan saling terancam. Dalam kondisi seperti ini, tak ada strategi yang bisa membuat salah satu pihak menang.
“Mereka sebenarnya sudah saling tahu bahwa di belakang Iran ada Rusia dan China. Iran juga tahu bahwa di belakang Israel ada Amerika Serikat dan NATO,” imbuhnya.
Tapi, bila konflik kedua negara itu terus berlangsung, maka hampir dipastikan harga minyak dunia akan naik di atas 100 dolar AS per barel. Sebab, selain terletak di Timur Tengah, Iran juga masuk dalam daftar sepuluh besar negara penghasil minyak terbesar di dunia.
BACA JUGA:
Kenaikan harga tersebut, tidak disebabkan berkurangnya pasokan melainkan terganggunya jalur perdagangan. “Di selatan Iran, ada Selat Hormuz yang merupakan jalur perdagangan minyak terpenting dunia. Sekitar seperlima produksi minyak global mondar-mandir Selat Hormuz setiap harinya,” terang Fithra.
Dia menyatakan, jika skenario terburuk itu terjadi, Indonesia sebagai negara importir minyak akan terkena imbasnya. Harga BBM bakal meroket, yang kemudian diikuti dengan kenaikan harga komoditas lainnya. Hal ini yang akan membuat beban subsidi BBM di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) makin besar jika pemerintah berniat mempertahankan harga BBM di level saat ini.
Fithra memaparkan, berdasarkan hitungannya, pemerintah harus menambah anggaran untuk subsidi BBM hingga Rp50 triliun-Rp110 triliun. Dengan proyeksi ini, pengeluaran pemerintah akan lebih besar daripada pendapatan dari pajak, atau yang dikenal dengan istilah defisit fiskal.
“Kalau sudah Rp50 triliun-Rp100 triliun, artinya beban fiskal atau defisit fiskal yang sebelumnya APBN 2024 antara 2,3%-2,4%, defisit fiskalnya bisa jadi 2,8 %-2,9%,” jelasnya.
Dia mengingatkan, bila kondisi ini terjadi maka akan membuat investor kabur karena mereka tidak yakin Indonesia dapat menekan defisit fiskal pada 2025. Akibatnya, nilai rupiah akan semakin turun, padahal saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah menembus Rp16.000.
Lebih jauh, Fithra mengungkapkan bahwa BBM, listrik, dan gas merupakan komoditas penting dalam proses produksi yang dilakukan produsen. Jika tarif komoditas itu naik, maka biaya produksi juga bisa meningkat.
Biasanya, produsen pun dapat membebankan kenaikan itu ke masyarakat dengan cara menaikkan harga barang yang mereka produksi. Ketika harga barang secara umum naik terus menerus, inflasi diperkirakan meningkat dan mencapai lima persen, atau naik dari 2,61 persen pada 2023.
Dia mengatakan, untuk meredam inflasi, pemerintah dapat melakukan dua opsi intervensi. Pertama, mengatasi inflasi di sektor lain agar dapat meredam dampak inflasi di sektor energi bagi masyarakat. Contohnya adalah strategi yang diterapkan Presiden Joko Widodo pada Agustus 2022.
Saat itu, banyak pihak khawatir inflasi dapat menyentuh angka sepuluh persen karena harga BBM naik. Jokowi lantas meminta masyarakat menanam cabai, komoditas yang menyumbang inflasi tinggi enam bulan sebelumnya. Jika persediaan cabai cukup, maka harganya akan turun di pasaran.
“Kita lihat imbasnya di Oktober, bahkan cabai sudah deflasi, padahal di bulan September harga BBM naik. Alhasil inflasi kita saat itu berada di bawah angka enam persen,” tuturnya.
Intervensi kedua, kata Fithra, adalah mengurangi dampak inflasi dari luar negeri, yaitu kenaikan harga minyak dunia yang pada akhirnya berpengaruh pada harga-harga komoditas impor lainnya. Caranya, pemerintah harus bisa mengidentifikasi produsen-produsen yang memiliki komponen impor tinggi dan dampak ekonominya besar.
Setelah itu, pemerintah dapat membantu produsen yang memiliki dampak ekonomi besar itu dengan cara memberikan subsidi ketika mereka ingin mengimpor bahan. “Itu bisa diberikan subsidi sehingga harganya itu tidak ditransmisikan ke level konsumen dan harga jadi naik, tapi diserap pemerintah lewat jalur subsidi tersebut,” ujarnya.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta pemerintah untuk melakukan sejumlah langkah strategis untuk mengantisipasi dampak dari memanasnya konflik antara Iran dan Israel. Sebagai langkah awal, pemerintah harus melakukan upaya diplomatik, melalui lembaga internasional, baik di PBB maupun OKI untuk mendorong gencatan senjata kedua negara.
Selain itu, pemerintah harus mengamankan pasokan minyak bumi untuk kebutuhan di dalam negeri. Pasalnya, Indonesia bergantung dari impor minyak mentah dan hasil minyak rata rata 3,5 juta ton per bulan.
“Jika perang masih berlanjut, jalur suplai minyak bumi melalui Selat Hormuz akan terganggu. Dampak kenaikan harga minyak dunia akan menjadi beban besar bagi APBN kita,” tuturnya.
Politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini juga meminta pemerintah mempersiapkan APBN dalam menghadapi tekanan eksternal imbas dari kenaikan harga minyak dan depresiasi dolar AS terhadap rupiah. Sebab, setiap rupiah yang melemah sebesar Rp500 dan harga minyak naik US$ 10 per barel, maka anggaran subsidi atau kompensasi berpotensi meningkat Rp100 triliun. Sementara, APBN 2024 hanya mematok rupiah pada level Rp15.000 per dolar AS dan dan harga minyak dunia 82 dolar AS per barel.
“Hal yang tak kalah penting adalah pemerintah harus memastikan kemampuan membayar Surat Berharga Negara (SBN) dan utang luar negeri yang berdenominasi dolar AS, mengingat tren depresiasi rupiah terhadap dolar AS dari batas rata rata yang ditetapkan di APBN 2024,” tegas Said.
Lantas bagaimana dengan kesiapan pemerintah? Wakil Menteri Luar Negeri, Pahala Mansury mengatakan bahwa pemerintah saat ini sudah mengantisipasi skenario terburuk terkait dampak konflik Iran-Israel terhadap aktivitas perdagangan Indonesia dengan negara kawasan. Sebab, konflik itu meliputi zona jalur perdagangan global di Selat Hormuz.
Meski telah mendesain skenario terburuk itu, pemerintah Indonesia telah berupaya agar eskalasi konflik tidak semakin tinggi dan meluas, sebagaimana yang telah dikatakan Presiden Joko Widodo dan Menlu Retno Marsudi. Caranya, yakni dengan menggunakan strategi diplomasi.
“Bahwa kita akan berupaya memastikan pihak-pihak di dalam negeri maupun diplomasi kita di luar untuk bisa kurangi adanya eskalasi atau menghindari adanya eskalasi bahkan berupaya untuk melakukan deeskalasi dari pada ketegangan tersebut,” terangnya.
Pahala menjelaskan, untuk mengantisipasi dampak buruk konflik tersebut, pemerintah mengacu pada tiga indikator, yakni pergerakan harga energi dan harga bahan-bahan pangan, kenaikan premium risiko dan pengaruhnya ke capital outflow, serta aktivitas ekspor dan impor.
Meski demikian, dia belum bisa mengungkapkan langkah antisipasi apa yang akan dilakukan bila tiga indikator itu memburuk. “Ya itu yang kita nanti perlu lihat, apakah memang pengaruhnya ke global supply chain akan seperti apa? Artinya apakah ini memiliki penaruhi terhadap keamanan dari pada supply chain pengangkutan barang dan lain sebagainya,” tambah Pahala.
Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan, pemerintah telah menyiapkan langkah antisipasi memanasnya konflik Iran-Israel. Menurut dia, pemerintah tetap berkomitmen menjaga kepercayaan pelaku pasar pada kemampuan ekonomi nasional, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan intervensi di pasar valas, memperkuat sinergi kebijakan dengan KSSK serta menjaga tingkat konsumsi masyarakat dan pemerintah.
“Secara fundamental, perekonomian Indonesia relatif masih cukup kuat. Pemerintah akan terus mencermati perkembangan global dan regional yang ada serta akan mengambil langkah-langkah yang kuat dan fokus dalam menjaga stabilitas sistem keuangan,” tandasnya.
Dia memaparkan, pertumbuhan ekonomi masih terjaga di atas lima persen dengan inflasi di kisaran 2,5 persen, neraca perdagangan masih mengalami surplus dan cadangan devisa pada Maret 2024 tetap tinggi, yakni berada di angka 140,4 miliar dolar AS.
Sementara melalui akun instagramnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa situasi global yang berkembang saat ini pasti akan berdampak pada Indonesia. Soal pelemahan rupiah misalnya, dari sisi ekspor akan berdampak positif bagi penerimaan negara. Namun, di sisi impor, konversi harga dolar terhadap rupiah akan lebih tinggi dan bisa berdampak pada inflasi.
Dia memastikan, stabilitas ekonomi akan terus dijaga, baik dari sisi moneter maupun fiskal. Kementerian Keuangan pun terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk beradaptasi dengan tekanan yang ada. “Dari sisi fiskal, kita memastikan APBN berperan menjadi shock absorber yang efektif dan kredibel,” imbuhnya.
Sri Mulyani tetap optimistis Indonesia akan mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tahun ini, berkaca pada daya tahan ekonomi saat menghadapi pandemi lalu. “Di tengah kondisi suku bunga dan inflasi global yang tinggi seperti saat ini, saya yakin ekonomi Indonesia akan tetap terjaga sesuai target, didukung oleh sisi ekspor yang kuat dan neraca perdagangan yang surplus,” kata dia