Kekuasaan dan Candu Penguasa
Ilustrasi Foto Karya Andry Winarko VOI

Bagikan:

JAKARTA - Dua tahun sebelum masa jabatannya sebagai presiden berakhir, hembusan isu Jokowi sedang membangun dinasti kembali menguat. Hal ini berdasarkan fakta, menantunya menjadi Wali Kota di Medan dan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka didapuk sebagai Wali Kota di Solo

Pemimpin atau penguasa yang terjangkit narsisme akan selalu berusaha untuk tampil berwibawa, trendi, dan elegan demi kemegahan atau keterhormatan. Watak dan kepribadian orang-orang narsistik itu selalu berilusi dan memandang ke dalam dirinya sebagai orang-orang terhebat. Dan bagi pemimpin seperti ini, kekuasaan itu adalah candu.

Dua psikolog dari Amerika Serikat, Jean M Twenge dan W Keith Campbel dalam bukunya yang berjudul The Narcism Epidemic: Living in the Age of Enlitlement, menjelaskan budaya narsis saat ini telah menjadi penyakit yang telah menjangkiti mayoritas individu di muka bumi. Seakan seirama, novel berjudul The Alchemist karya Paolo Coelho, menceritakan sosok pemuda tampan bernama Narcis asal Yunani yang digandrungi gadis-gadis cantik yang gemar mengagumi dirinya sendiri pada permukaan air danau yang tenang dan jernih.

Hingga suatu hari Narcis meninggal maka danau itu kehilangan pengunjung tetapnya. Danau pun bersedih dan menangis. Seekor ikan yang hidup di danau itu bertanya apakah dia menangisi kepergian Narcis. Sang danau menjawab, “Aku sama sekali tidak menangisi kepergiannya. Aku merasa sangat kehilangan, karena setiap kali ia datang memandangi wajahnya pada diriku, aku menyaksikan keindahanku pada bola matanya.”

Kekuasaan dalam ranah narsis biasanya ditempatkan di atas segala-galanya. Dan bila sudah seperti ini kekuasaan itu berubah menjadi candu. Kecanduan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap siapa pun yang terkena dampaknya.

Dalam buku Power, Powerlessness and Addiction dijelaskan tentang perilaku kecanduan bisa mendorong pemberian tanggung jawab kepada individu dan mengalihkan perhatian dari pihak berkuasa yang mendapat manfaat dari kecanduan; dan cara-cara yang membungkam suara orang-orang yang kepentingannya paling tidak terlayani oleh kecanduan.

Ilmuwan dan penulis Profesor Ian Robertson dalam laman National College of Ireland menyatakan kalau kekuasaan bisa mempengaruhi otak dengan cara yang serupa dengan kokain. Seperti kokain, kekuasaan bisa meningkatkan tingkat dopamin—neurotransmitter yang berhubungan dengan kenikmatan dan hadiah—dalam otak.

Tingkah orang yang kecanduan kekuasaan seperti ini mirip dengan buku yang berjudul Sang Pangeran karya Nicollo Machiavelli. Buku yang berkisah tentang bagaimana cara menggapai, dan mempertahankan, kekuasaan. Jika sebelumnya banyak pemikiran yang memadukan politik dan etika, Machiavelli justru memisahkannya secara tegas. Dia membuang hal yang berbau etika ke comberan sejarah. Tak salah jika filsuf ini dikenal sebagai gurunya para politikus yang rakus dan menghalalkan segala cara untuk kekuasaan.

Seruan Gema Perlawanan Demi Demokrasi

Dua tahun sebelum masa jabatannya sebagai presiden berakhir, hembusan isu Jokowi sedang membangun dinasti kembali menguat. Hal ini berdasarkan fakta, menantunya menjadi Wali Kota di Medan dan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka didapuk sebagai Wali Kota di Solo.

Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengakui bahwa Jokowi di periode keduanya inni dihantui godaan membangun dinasti politik. Menurutnya itu wajar bagi seorang presiden selaku pemegang penuh otoritas di sebuah negara. Mengingat kekuasaan memang sebuah candu yang selalu bikin ketagihan.

Ilustrasi. Simulasi Nasional Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilu 2019 di area wisata Goa Selarong, Bantul, pada Maret 2019. (Antara-Andreas Fitri A)
Ilustrasi. Simulasi Nasional Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilu 2019 di area wisata Goa Selarong, Bantul, pada Maret 2019. (Antara-Andreas Fitri A)
 

"Kekuasaan itu candu. Bisa menggoda siapa pun. Itu alamiah," kata Adi kepada VOI dalam keterangan tertulisnya.

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi No 90- PUU XXI/2023, Kemudian disusul putusan partai koalisi Indonesia Maju yang dipelopori Partai Gerindra menunjuk Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya Prabowo berdampak kepada merosotnya dukungan kepada Jokowi.

Kini, hembusan isu itu telah menjadi nyata dengan majunya Gibran menjadi calon wakil presiden (Cawapres) dari Prabowo. Hal ini seperti mengakhiri bulan madu Jokowi dengan Megawati dan PDIP. Apalagi sejak itu, terlihat Jokowi seakan lebih mengendorse Prabowo, ditambah klaim dari kelompok itu, mereka mendapat dukungan Jokowi. Termasuk sejumlah kelompok relawan dan organ pendukung Jokowi, yang menyatakan dukungan ke Prabowo-Gibran. Sementara dari pihak PDIP dan Ganjar seperti berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi.

Sejak munculnya kasus dugaan rekayasa di Mahkamah Konstitusi, dan melenggangnya Gibran menjadi calon wakil presiden Prabowo. Di mana MKMK akhirnya menyatakan menghukum ketua MK Anwar Usman yang dinilai melanggar kode etik dan mencopotnya dari jabatan Ketua MK. Semakin besar keyakinan masyarakat ada skenario besar di bidang politik yang dijalankan pihak berkuasa dengan tujuan melanggengkan kekuasaan.

Warning alarm itulah yang menumbuhkan sikap antipati kepada Jokowi, yang sebelumnya mendapat dukungan tinggi selama pemerintahan. Bahkan banyak pihak menilai kepuasan publik kepada kinerja Jokowi mencapai 80 persen. Namun sejak saat itu respect masyarakat pada Jokowi pelan-pelan susut, Bahkan sejumlah pendukung fanatiknya Jokowi merasa dikecewakan dan pergi meninggalkanya.

Perilaku Jokowi diakhir masa jabatannya dinilai banyak menambrak aturan. Mulai dari tudingan penyalahgunaan bansos, penggunaan aparat untuk mengarahkan pasangan tertentu, membuat eskalasi politik menjelang pemilu 14 Februari 2024 semakin meningkat. Sejumlah kelompok bahkan mulai menyerukan pemakzulan hingga, penurunan jabatan presiden sebelum masa berakhir.

Karena keprihatinan itu kampus-kampus dan kalangan akademika UGM mulai bergerak menyampaikan deklarasi teruskan Kampus UII, dan menyusul kampus UI di Jakarta menandai perlawanan publik yang makin masif.

Ganjar Pranowo (Wardhany Tsa Tsia)
Ganjar Pranowo (Wardhany Tsa Tsia)on

Dalam acara podcast Speak up yang dipandu oleh Abraham Samad, Calon Presiden 03, Ganjar Pranowo menyatakan bahwa demokrasi kita sedang tidak baik baik saja, kalau agamawan, akademisi sudah banyak bicara, mencoba untuk mengingatkan. Peringatan yang masif itu harusnya didengarkan, jika tidak kita sedang mempertaruhkan demokrasi kita. "Peringatan yang masif itu adalah alert bagi yang berkuasa untuk berubah," katanya pekan lalu.

Menurutnya, apa sih kehendak reformasi itu?, reformasi maunya presiden jangan lama=lama, sehingga presiden dibatasi hanya 2 periode, terus otonomi daerah, sikat KKN, kemudian keterbukaan dimana siapa pun bisa menjadi apapun asal dipercaya rakyat, itulah kehendak demokrasi. "Tetapi yang terjadi sekarang, itervensinya semakin masif, dikontrol orang tidak mau, politiking terjadi di mana-mana," katanya. Suasana ini, kata Ganjar, seperti kita sedang menuju otoritarian. "Kalau orang yang pernah mengalami massa 98, orang akan menolak dan melakukan perlawanan", ujarnya .

Tokoh politik dan Pendiri Polmark, Eep Saefullah Fatah, mengakui telah menyerukan perlawanan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Menurut Eep, perlawanan itu perlu dan wajib digemakan. Eep menyerukan perlawanan untuk mengalahkan pihak yang didukung presiden Jokowi dalam pemilihan 14 Februari mendatang. Ia meminta publik terus mengawal pasca Pemilu 14 Februari hingga hari perhitungan suara pada tanggal 30 Februari.

“Jangan kendor, perlawanan itu perlu digemakan. “ katanya saat bicara di podcast Abraham Samad.

Untuk mengawal proses pemilu itu Eep bahkan menyiapkan aplikasi "Warga Jaga Pemilu" yang bisa diunduh pengguna aplikasi Android untuk menjadi sarana memantau dan melaporkan kecurangan selama pemilu berlangsung.