Bagikan:

JAKARTA - Kontestasi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) itu harus mempunyai golden tiket dari partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah pada pileg lalu, serta sejumlah berkas administrasi. Persyaratan itu diatur dalam Pasal 221 UU Pemilu tentang syarat-syarat untuk mencalonkan diri menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden,

Diketahui kandidat untuk calon presiden sudah muncul tiga nama. Ke tiga nama itu antara lain Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Sayangnya dari ke tiga nama itu belum ada yang memberikan 3 kandidat nama yang akan menjadi calon wakil presidennya.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi parpol penguasa selama dua periode tentu memiliki golden tiket tanpa harus melakukan koalisi dengan partai politik lainnya. Partai yang berlambang banteng moncong putih ini telah mencalonkan kadernya Ganjar Pranowo. Namun sampai sekarang, meski sebagai parpol juara, PDIP belum juga menunjukkan siapa nama yang pantas mendampingi Ganjar Pranowo sebagai wakil presiden.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menegaskan beberapa nama tokoh yang muncul ke permukaan sebagai calon pendamping capres dari PDIP memiliki probabilitas yang sama. Basarah membantah rumor yang menyebutkan hubungan PDIP dengan PPP retak akibat desakan Sandiaga Uno sebagai calon paling kuat untuk cawapresnya Ganjar Pranowo.

"Untuk hal itu saya tegaskan sekali lagi bahwa itu hanya rumor. Hubungan PDIP dengan PPP masih tetap baik dan siapapun nama kandidat cawapres dari mas Ganjar yang muncul memiliki probabilitas yang sama. Sama-sama punya potensi yang tinggi," kata Ahmad Basarah kepada VOI, di DPR, 21 Agustus.

Capres dan cawapres itu harus dwitunggal dan saling membantu satu sama lain. Ingat dengan pasangan SBY-JK di tahun 2004 saat menghadapi beberapa tokoh nasional seperti Megawati, Hamzah Has, Amien Rais dan Wiranto. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla (SBY-JK) sukses setelah membuat ramuan komunikasi politik ke publik dengan bernas!. SBY melakukan langkah politik dengan mendirikan Partai Demokrat dan meminang JK yang tidak memiliki posisi tertinggi di Partai Golkar. Partai politik yang masih bayi bersanding dengan tokoh yang bukan ketum Parpol. Langkah SBY tidak dilihat bahkan diremehkan Megawati yang berakhir dengan kekalahan.

SBY yang mampu mengoordinasikan ketum demokrat sadar betul bahwa kontestasi pemilihan presiden itu perlu elektoral politik dan juga kapital kuat yang dimiliki oleh Jusuf Kalla.

Kemenangan SBY di periode pertama juga diikuti oleh Jokowi. Jokowi-JK menang melawan Prabowo-Hatta di periode pertama meski koalisi Prabowo saat itu termasuk gemuk.

Namun di periode ke dua, Jokowi membuat gebrakan baru yang membuka mata publik bahwa pasangan capres dan wapres itu tidak hanya dwitunggal melainkan juga mampu mewakili suara muslim yang menjadi mayoritas di bangsa ini.

Dua kali menjadi cawapres dan berhasil mendampingi presiden terpilih SBY dan Jokowi, sosok JK yang kuat, tegas mengatakan tugas seorang wapres itu ada dua hal. "Tugas pertama melaksanakan sesuai arahan dari presiden dan tugas kedua melakukan sesuai insiatif dari wapres itu sendiri dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Contohnya mengenai birokrasi, otonomi daerah, pariwisata, pemda," kata JK kepada wartawan.

Di periode Jokowi ke dua, seakan ingin mengukur elektoral dan kekuatan kapital dari PDIP, mantan gubernur DKI memilih Kiai Makruf Amien di menit terakhir setelah sebelumnya nama Mahfud MD digadang-gadang ke publik. Pilihan mendadak Jokowi dengan Kiai Makruf Amin dinilai tepat dan mampu mewakili suara muslim. Suara muslim merupakan suara yanng besar di bangsa ini.

Sumber VOI mengatakan saat ini PDIP sedang mencari sosok cawapres yang tidak seperti JK melainkan mirip dengan Kiai Makruf Amin yang tidak banyak melakukan 'inisiatif' saat bekerja nanti. Sementara nama Sandiaga Uno dinilai sebagai politisi yang pragmatis dan tidak cocok dengan fatsun politik yang dianut partai berlambang banteng moncong putih.

"Sosok yang diharapkan bukan seperti wapres ke 10 dan 12 yang aktif melainkkan seperti wapres ke-13. Tidak banyak mengerti birokrasi dan hal lainnya. Intinya mencari yang nurut," kata sumber VOI.

Manuver politik Sandiaga Uno yang berharap menjadi calon wakil presiden Ganjar Pranowo dari PPP tak kunjung datang. Sandiaga Uno merupakan kriteria yang memiliki modal politik yang kuat namun belum memiliki akar di PPP atau di komunitas Nahdlatul Ulama. Ganjar yang mendapatkan dukungan dari PDIP, PPP, Perindo dan Hanura belum memberikan jawaban pasti siapa pasangan yang tepat untuk mendampinginya di kontestasi pemilihan presiden 2024.

Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menegaskan PDIP cenderung menghargai nilai-nilai loyalitas, pengabdian dan komitmen pada ideologi. Umam menilai Sandiaga tidak mampu mewakili suara santri dari kaum Nahdliyin yang diharapkan tumbuh lewat mesin politik PPP.

"Itulah mengapa, belakangan di internal PDI-P mulai membuka peluang rekalkulasi koalisi dengan mengambil tokoh Nahdliyin yang lebih mengakar, misalnya dengan memanfaatkan ketidakpastian nasib Cak Imin dan PKB di KKIR," kata Umam.

Ilustrasi capres dan cawapres yang mendapatkan golden tiket

Menurut Sekjen PDIP Hasto, pertemuan Ganjar dan Cak Imin itu menunjukkan gaya berpolitik Ganjar mampu merangkul siapa saja dan meletakkan kepentingan rakyat di atas segalanya. "Pertemuan itu menunjukkan sikap kepemimpinan Ganjar Pranowo yang menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya," kata Hasto.

Perkembangan politik semakin dinamis. Masing-masing parpol yang memiliki golden tiket masih menyimpan siapa sosok cawapres yang akan mendampingi capres yang diusung. Peneliti senior dari Institut Riset Indonesia (Insis) Dian Permata menyebutkan kandidat cawapres secara keseluruhan itu harus memiliki elektoral yang mampu mengerek parpol yang mendukung dan mempunyai modal yang kuat juga mampu mewakili suara terbesar yakni muslim.

"Jika melihat kondisi dan sejarah politik, kecenderungan PDIP untuk menetapkan calon wakil presidennya itu harus mampu meningkatkan elektoral dari capres yang diusung. Selain itu kandidat cawapres harus memiliki kapital (modal) yang kuat agar bisa memenangkan kontestasi pemilihan presiden di tahun 2024," kata pria yang berkacamata dan biasa dipanggil dengan Dian.

Dian mengatakan kandidat calon wakil presiden yang memiliki kapital dan elektoral kuat saat ini bisa terbagi menjadi tiga bagian. Kelompok pertama itu kandidat yang menduduki ketum parpol, kelompok kedua yang posisinya seperti Jusuf Kalla bukan ketum parpol tapi memiliki kapital kuat dan kelompok ketiga yang mewakili suara muslim atau santri dan anak muda.

"Kita kerucutkan saja ya, kelompok pertama itu ada nama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Alasannya kedua tokoh ini sudah memiliki elektoral juga sangat mungkin mempunyai kapital yang kuat. Muhaimin Iskandar sudah 20 tahun menduduki posisi Ketum PKB dan AHY selain Ketum Demokrat, merupakan putra pertama dari presiden yang juga 2 periode. Masak sih keduanya nggak punya kapital," kata Dian kepada VOI melalui sambungan telepon, 19 Agustus.

"Kelompok ke dua itu ada nama Sandiaga Uno yang juga mempunyai posisi sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu untuk PPP dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Dan terakhir untuk kelompok ke tiga itu ada imam besar Istiqlal Kiai Nasaruddin Umar dan Wali Kota Solo sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka jika diloloskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Dian.

Dian mengatakan bila mahkamah konstitusi (MK) meloloskan batas usia minimum capres dan cawapres maka bisa dipastikan karir politik Gibran akan melewati orang tuanya sendiri, Jokowi. "Jokowi memulai karir politiknya dari wali kota kemudian naik menjadi gubernur baru menjadi presiden. Sementara Gibran, memulai dari wali kota langsung masuk kancah nasional ikut di bursa calon wakil presiden ya," ujar Dian.

PDIP Membuka Peluang untuk Gibran

Gugatan batas usia capres dan cawapres ke depannya akan menuai konflik baru. Berdasarkan Pasal 169 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 usia para kandidat capres dan cawapres itu berusia 40 tahun dan ke tiga kandidat calon presiden sudah memenuhi persyaratan. Namun jika gugatan itu diloloskan MK, akan ada dua yang jelas berdampak pertama Gibran Rakabuming Raka yang berusia 35 tahun bisa maju menjadi cawapres.

Ketua DPR Puan Maharani menegaskan hal itu sangat terbuka jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terkait batas usia minimum capres dan cawapres.

"Kalau di MK-nya kemudian disetujui untuk ada calon wakil presiden di bawah 40 tahun, ya mungkin saja bisa kemungkinan Mas Gibran yang maju," kata Puan Maharani kepada VOI.

AHY Cawapres Terkuat Anies Baswedan

Potensi cawapres dari Anies Baswedan tentu harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan konstitusi. Kelakar Gibran yang menunggu pinangan dari Anies, langsung terjawab dengan persyaratan yang ditetapkan kontestasi. Nama yang diusung dari tiga parpol yang tergabung dalam Koalisi Perubahan dan Perbaikan tentu saja Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Wakil Ketua Umum (Waketum) dari Nasdem, Ahmad Ali mengatakan peluang AHY menjadi cawapres Anies sanngatlah besar.

"Kita konsisten untuk memberikan mandat itu kepada Anies Baswedan untuk memilih siapa cawapresnya. Namun kewenangan yang diberikan dan siapa yang ditunjuk itu harus bisa dijelaskan secara empiris, secara saintifik mengapa memilih seseorang. Jika ditanyakan apakah AHY bisa menjadi cawapres Anies tentu sangat berpeluang besar," tandasnya.

Tanda AHY menjadi Cawapres Anies menguat setelah AHY menyambut kedatangan Anies Baswedan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta usai pulang haji. AHY sebelumnya juga ikut mengantarkan Anies saat berangkat haji.

"Saya kira itu semacam kode keras bahwa AHY-lah yang paling mungkin, paling dekat nama yang di kantong Anies untuk dijadikan sebagai pendamping di Pilpers 2024 yang akan datang," ungkap Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno kepada VOI, 21 Agustus.

Erick Thohir Itu Berpeluang Jadi Cawapres Prabowo Subianto

Peluang Erick Thohir menjadi Cawapres dari Prabowo sangat kuat sekali. Peluang itu tercipta sejak PAN memutuskan bergabung dengan Koalisi KIR dan mendukung Prabowo Subianto jadi calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang. Pasalnya, kedua figur yang juga menteri tersebut selain mendapatkan elektabilitas tertinggi bila dipasangkan, keduanya juga memiliki elektoral yang tinggi.

Namun sumber VOI di lingkaran Prabowo Subianto meyebutkan ada ruang yang besar untuk Erick Thohir terpilih menjadi cawapres. Namun begitu ada beberapa permalahan yang dikhawatirkan akan diungkap saat debat yang bisa menyebabkan kekalahan.

"Sayangnya Erick itu memiliki beberapa permasalahan yang mungkin saja bisa mengganjal kemenangan saat debat capres dan cawapres dimulai. Itu yang menjadi bahan pertimbangan sampai saat ini," tandasnya.