Rumah Kaum Milenial, Asia Tenggara Jadi Surga Baru Bagi  <i>Fintech</i>
Layanan pesan antar Grab jadi raksasa perusahan digital di Asia Tenggara. (foto: Afif Kusuma/unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Ketika pasar tradisional berjuang untuk tetap bertahan selama pandemi Covid-19, mata uang kripto justru terus melaju. Pada bulan April lalu, bitcoin mencapai rekor tertinggi lebih dari 60.000 dolar AS (869 juta rupiah), hampir 10 kali lipat nilainya setahun yang lalu.

Investor ritel dan institusi mulai mengenali kelas aset sebagai alternatif tempat berlindung dengan aman dalam ekonomi yang tidak pasti. Tahun lalu, pusat kekuatan perbankan DBS meluncurkan pertukaran mata uang kripto

Asia Tenggara, seperti negara-negara lain di dunia, telah mengalami peningkatan serupa dalam aktivitas aset digital, dengan volume perdagangan di DBS Digital Exchange meningkat hampir 10 kali lipat selama kuartal pertama tahun ini. 

Wilayah ini Sudah menjadi rumah bagi salah satu kumpulan pengguna mata uang kripto terbesar di dunia, dengan tingkat penetrasi seluler di Asia Tenggara sudah lebih dari 100 persen menjadikannya sarang alami untuk adopsi aset digital.

Ekosistem teknologi senilai 108 miliar dolar AS di kawasan ini yang didorong oleh unicorn seperti Grab Holdings, dan Sea Limited, serta GoTo (Gojek dan Tokopedia) telah memantapkan pijakan sebagai inkubator inovasi fintech. Wilayah ini juga merupakan pembangkit tenaga cryptocurrency yang sedang naik daun.

Hibah, program, kebijakan, dan peraturannya juga membantu menarik bisnis tekfin. Hibah Singapura sebesar 300 juta dolar Singapura (sekitar 3,2 triliun rupiah ) untuk proyek-proyek teknologi dalam dan 12 juta dolar Singapura (sekitar 128 miliar  rupiah) untuk memajukan inovasi blockchain telah membangun landasan peluncuran untuk proyek-proyek perintis dan mengembangkan ekosistem fintech yang kuat.

Lisensi Fintech, seperti dari Labuan International Business and Financial Centre (IBFC) Malaysia, merupakan pintu gerbang bagi start-up untuk memasuki Asia Tenggara.

Tahun lalu, Labuan IBFC memiliki rekor jumlah lisensi fintech yang disetujui, memperkenalkan tiga bank digital dan 19 penyedia platform perdagangan cryptocurrency ke wilayah tersebut. Indonesia juga telah mengeluarkan izin peraturan untuk perdagangan 299 aset mata uang kripto awal tahun ini.

Investasi fintech di Asia Tenggara juga melonjak, mencapai 1,6 miliar dolar AS (Rp 17 triliun) pada 2019. Di Singapura, start-up fintech mencatat lonjakan pendanaan 355% pada kuartal pertama tahun ini. Sebagian besar investasi di perusahaan fintech baru di Asia Tenggara dipimpin oleh investor asing.

Tak heran, jumlah bisnis fintech berkembang pesat. Startup teknologi Singapura telah tumbuh 10 kali lipat sejak 2015 sementara start-up fintech Vietnam telah meningkat 179 persen sejak 2017. Di Indonesia, start-up fintech mengumpulkan hampir 84 persen dari total pendanaan tahun lalu.

Mengingat akar fintech yang tumbuh di Asia Tenggara, penerimaan aset digital adalah langkah alami berikutnya. Dengan ekonomi internet di kawasan ini yang melampaui 100 miliar dolar AS (Rp 1071 triliun), maka pembayaran digital terus memainkan peran sentral. Tidak heran jika adopsi mata uang kripto telah meningkat pesat di Asia Tenggara.

Asia Tenggara adalah rumah bagi 8,5 persen populasi dunia yang masih muda dengan usia rata-rata 30,2 tahun. Dengan semakin banyaknya generasi milenium yang menaruh kepercayaan mereka pada teknologi, kawasan ini siap untuk menyemai masa depan mata uang kripto.

Padahal 30 tahun yang lalu, Asia Tenggara termasuk wilayah termiskin di dunia dengan lebih dari separuh penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Saat ini, konsumen kelas menengahnya yang berkembang pesat akan mencapai angka 50 juta pada tahun 2022 dengan pendapatan gabungan sebesar 300 miliar dolar AS (3213 triliun rupiah).