JAKARTA - Bitcoin saat ini berada dalam titik krusial. Tidak seperti pola historis pasca-halving yang biasanya memicu reli kuat, pergerakan BTC kali ini lebih dipengaruhi oleh faktor makroekonomi dan keterlibatan institusional.
Menurut trader Tokocrypto, Fyqieh Almuttaqin, perbandingan siklus Bitcoin sebelumnya (2012-2016 dan 2016-2020) menunjukkan lonjakan harga yang lebih agresif dibandingkan dengan siklus saat ini.
Namun, sejak Oktober 2024, harga BTC mengalami kenaikan signifikan, diikuti oleh konsolidasi pada Januari 2025 dan koreksi pada akhir Februari.
“Berbeda dengan siklus sebelumnya yang lebih didorong oleh spekulasi ritel, Bitcoin kini lebih dipandang sebagai aset investasi yang matang. Pengaruh investor institusional, bank, dan pemerintah telah mengubah dinamika pasar, membuat pergerakan harga BTC lebih stabil dibandingkan lonjakan ekstrem di masa lalu," ungkapnya.
Seiring waktu, reli Bitcoin tampaknya semakin melemah. Siklus 2012-2016 dan 2016-2020 menunjukkan kenaikan eksponensial, sementara siklus 2020-2024 dan saat ini lebih moderat.
Jika tren ini berlanjut, Fyqieh mengatakan, Bitcoin mungkin mengalami siklus yang lebih panjang dan stabil, bukan reli parabola yang eksplosif seperti sebelumnya.
Selain kondisi makroekonomi, faktor politik juga berperan dalam pergerakan harga Bitcoin. Sikap pro-kripto dari Presiden Donald Trump serta meningkatnya adopsi BTC di tingkat negara bagian menambah variabel yang tidak terduga dalam siklus ini.
BACA JUGA:
Fyqieh menjelaskan meskipun pasar tidak bereaksi terlalu antusias terhadap White House Crypto Summit, perkembangan seperti ini menandai langkah besar dalam adopsi Bitcoin oleh pemerintah.
Namun, target berikutnya untuk BTC ada di 86.750 dolar AS (Rp1,41 triliun), dengan level stop di bawah 84.000 dolar AS (Rp1,37 miliar). Namun, untuk benar-benar membalikkan tren bearish, ia menekankan bahwa BTC harus mampu menembus 91.000 dolar AS (Rp1,48 miliar) dalam beberapa hari ke depan.