JAKARTA - Asuransi siber global mengalami penurunan premi karena bisnis-bisnis semakin mahir dalam mengurangi kerugian akibat kejahatan siber, meskipun serangan ransomware meningkat, demikian laporan dari broker Howden pada Senin, 1 Juli.
Premi asuransi untuk melindungi perusahaan dari serangan siber melonjak pada tahun 2021 dan 2022, karena pandemi COVID-19 memicu insiden kejahatan siber. Namun, menurut laporan tahunan Howden, premi telah mengalami penurunan dalam setahun terakhir. "Pasar asuransi siber melihat penurunan harga dua digit pada tahun 2023/24," kata Howden.
Keamanan tambahan seperti otentikasi multi faktor telah membantu melindungi data perusahaan, yang mengurangi klaim asuransi. "MFA adalah hal paling dasar yang bisa dilakukan, seperti mengunci pintu saat meninggalkan rumah," kata Sarah Neild, kepala UK cyber retail di Howden. Neild menambahkan bahwa keamanan siber merupakan hal yang kompleks dengan banyak lapisan, termasuk investasi yang lebih besar dalam keamanan TI dan pelatihan staf.
"Secara keseluruhan, klien-klien lebih tangguh," ujar Neild. Penawaran yang lebih besar dari perusahaan asuransi untuk menyediakan asuransi siber juga menyebabkan penurunan harga, meskipun serangan meningkat.
BACA JUGA:
Meskipun serangan ransomware global menurun setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, insiden ransomware tercatat meningkat 18% dalam lima bulan pertama tahun 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, demikian laporan tersebut.
Biaya gangguan bisnis biasanya menjadi biaya terbesar setelah serangan siber, tetapi bisnis-bisnis dapat mengurangi biaya tersebut dengan sistem cadangan yang lebih baik, seperti melalui penggunaan penyedia cloud, kata laporan itu.
Sebagian besar bisnis asuransi siber berada di Amerika Serikat, tetapi pertumbuhan pasar asuransi siber global senilai 15 miliar dolar AS kemungkinan akan tercepat di Eropa dalam beberapa tahun mendatang, dengan tingkat penetrasi yang lebih rendah saat ini, lanjut laporan tersebut.
Perusahaan-perusahaan kecil cenderung kurang berminat untuk membeli asuransi siber, sebagian karena kurangnya kesadaran akan risiko siber, tambah laporan itu