JAKARTA -- Bagi para pendaki yang bermimpi menaklukkan puncak Everest, bersiaplah untuk membawa lebih banyak perlengkapan.
Setelah mengalami musim pendakian paling mematikan yang menewaskan 18 pendaki, kini pihak berwenang Nepal mewajibkan semua pendaki untuk membawa pelacak GPS kecil yang dijahit ke dalam pakaian mereka.
Pelacak tersebut dapat berfungsi hingga kedalaman 20 meter di bawah lapisan salju, sehingga diharapkan dapat mempermudah tim penyelamat menemukan pendaki yang mengalami kecelakaan.
Peraturan baru ini muncul setelah sebelumnya diberlakukan peraturan yang mewajibkan pendaki membawa kembali kotoran mereka sendiri ke base camp.
GPS Wajib untuk Keamanan
"Pelacak GPS wajib digunakan pendaki tahun ini. Dengan demikian, jika terjadi kecelakaan, lokasi mereka dapat diidentifikasi secara akurat," kata Rakes Gurung, Direktur Pendakian di Departemen Pariwisata Nepal, dikutip VOI dari AFP.
Pelacak canggih selama ini sudah digunakan oleh para pendaki profesional dan beberapa perusahaan ekspedisi. Perangkat ini memberikan informasi penting tentang kemajuan pendakian dan menyediakan data untuk sponsor ekspedisi. Namun, pelacak wajib yang baru ini adalah perangkat GPS 'pasif' sederhana dengan fungsi terbatas.
Berukuran tidak lebih besar dari USB, pelacak ini tidak memerlukan daya dan dapat dengan mudah dijahit ke kain jaket. Biaya pelacak ini antara 10 dan 15 dolar AS (sekitar Rp 157.000 - Rp 210.000) per buah dan akan disediakan oleh perusahaan trekking.
Biaya Ekspedisi yang Mahal
Pelacak tersebut akan dilepas dan disimpan untuk pendaki berikutnya setelah mereka kembali dari puncak. Lagi pula, biaya pelacak seharusnya tidak menjadi masalah besar bagi siapa pun yang serius ingin mencapai puncak.
Sebagian besar yang mencoba mencapai puncak 8.849 meter tersebut melakukannya melalui Nepal, di mana mereka harus membayar 11.000 dolar AS (sekitar Rp172,7 juta) hanya untuk izin mendaki.
Ditambah dengan biaya pembelian perlengkapan, makanan, oksigen, dan menyewa guide sherpa selama berbulan-bulan, total biaya ekspedisi bisa mencapai lebih dari Rp 500 juta.
Peraturan baru ini diberlakukan setelah salah satu musim pendakian paling mematikan yang pernah terjadi, menewaskan 18 pendaki termasuk tiga orang Sherpa Nepal yang tewas tertimpa es di Khumbu Icefall.
Selain itu, karena pendakian ke puncak hanya bisa dilakukan pada saat cuaca cerah, antrean panjang sering terjadi di gunung tersebut, yang secara substansial meningkatkan risiko kematian.
BACA JUGA:
Seiring dicabutnya pembatasan Covid, jumlah pendaki yang mengunjungi Everest setiap tahun terus meningkat. Tahun lalu sekitar 60.000 wisatawan mengunjungi Taman Nasional Sagarmatha, yang mencakup Everest, sementara 600 orang mencoba mencapai puncak.
Hal ini menjadikan pendakian ke Everest sebagai peluang finansial yang besar bagi masyarakat setempat. Namun pesatnya pertumbuhan industri pendakian telah menciptakan persaingan ketat antar perusahaan untuk mendapatkan keuntungan, dan juga menimbulkan kekhawatiran bahwa beberapa perusahaan mengabaikan keselamatan.
Everest hanya dapat didaki pada saat cuaca cerah dan angin tenang. Hal ini menyebabkan antrean panjang terbentuk di bagian-bagian yang menantang, membuat para pendaki menunggu dalam cuaca yang sangat dingin dan menghabiskan persediaan oksigen mereka yang berharga.
Kekhawatiran lainnya adalah beberapa perusahaan membawa pendaki yang tidak berpengalaman ke 'zona kematian', di atas 8.000 meter, yang menciptakan risiko serius bagi mereka dan pendaki lainnya.
Karena melakukan penyelamatan di ketinggian ini hampir mustahil, diharapkan pelacak akan membuat penyelamatan pendaki yang terluka menjadi lebih mudah dan mengurangi risiko bagi tim penyelamat.