JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berkolaborasi dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi menggelar workshop yang membahas tentang isu-isu yang dihadapi oleh kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, dan orang paruh baya dalam mengakses dan menggunakan teknologi digital.
Sebagai informasi, berdasarkan Survei Indeks Literasi Digital Nasional pada tahun 2022 menunjukkan bahwa kapasitas literasi digital masyarakat Indonesia dinilai sedang yaitu sebesar 3.54 dari 5.00.
Kemenkominfo berkolaborasi dengan sejumlah komunitas dan kelompok masyarakat untuk melakukan literasi kepada masyarakat tentang materi yang didasarkan pada 4 Pilar Utama Literasi Digital, yaitu kecakapan digital, etika digital, budaya digital, dan keamanan digital.
Mei Lin Fung selaku People-Centered Internet menuturkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat terkait akses internet. Baginya hal yang penting bukan hanya berhenti pada pemberian akses internet kepada masyarakat, akan tetapi manfaat dari adanya internet tersebut terhadap peningkatan taraf kehidupan mereka.
Mei Lin menambahkan mengenai peran literasi digital untuk membentuk ketahanan masyarakat dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri, seperti bagaimana masyarakat mencari informasi secara tepat, memperoleh pendidikan layak, dan lain sebagainya.
“Bagaimana kita bisa menjadi kreatif dan memproduksi hal-hal baru, karena kebanyakan di internet menjual hal yang sudah ada. Saya berharap Indonesia dapat menjadi pionir, karena Indonesia negara yang memiliki 17.000 pulau,” tutur Mei Lin.
Sementara, perwakilan dari ICT Watch, Ida Ayu Prasasti mengatakan inklusivitas digital dari sisi perempuan, utamanya mengenai tantangan-tantangan dari perempuan Indonesia di ruang digital, seperti menghadapi gender-based violence.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, perempuan Indonesia juga memiliki kesenjangan dengan laki-laki, sebab itu dibutuhkan friendly-training bagi perempuan.
“Ada juga kesenjangan penghasilan antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut membuat perempuan kesusahan mendapat akses internet, karena cenderung mengutamakan (penghasilan) untuk kehidupan sehari-hari,” jelas Ida.
Perwakilan World Benchmarking Alliance (WBA), Dio Herdiawan Tobing menjelaskan mengenai keterbatasan akses internet untuk pendidikan.
“Sebagai organisasi, WBA mengharapkan bahwa semua masyarakat dapat mengambil peran dalam proses transformasi digital, hal tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,” tutupnya.