JAKARTA - Gen-Z dikenal sebagai generasi digital native yang melek teknologi. Meski mereka terbiasa dengan teknologi terkini, mereka tetap khawatir menyoal keamanan data pribadi mereka.
Terbukti dari hasil survei Komnas HAM pada 2020 menyebutkan Gen-Z yang berusia 17-25 memiliki kekhawatiran terhadap keamanan data pribadi mereka.
Sebanyak 78,4 persen responden menganggap data pribadi mereka tak aman di Internet. Survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2022 juga menemukan lebih dari 30 persen kalangan Gen-Z menyatakan ragu-ragu, di mana data pribadi yang didaftarkan dalam aplikasi akan terjamin kerahasiaannya.
Menyambut World Data Privacy Day yang jatuh pada 28 Januari minggu ini, penyedia identitas digital di Indonesia, VIDA kembali mengajak pemerintah dan industri untuk meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan kepercayaan digital (digital trust) di kalangan publik.
Hal ini juga selaras dengan aturan pelindungan data pribadi yang baru saja disahkan. Gerakan ini juga dapat menjadi respons langsung dari ancaman siber yang kian marak terjadi di Indonesia, salah satunya mencakup persoalan pencurian dan penyalahgunaan identitas (identity theft and identity fraud).
“Pola kebiasaan Gen-Z dalam beraktivitas di dunia maya lebih mudah dibentuk jika dibandingkan dengan generasi-generasi lainnya. Aktivitas ini tentu membawa banyak manfaat, tetapi juga ada ancaman tersendiri untuk keamanan data pribadi. Hal ini mengingat merekalah yang menjadi generasi pertama yang mengadopsi berbagai fitur-fitur terbaru," ungkap Chief Revenue Officer VIDA, Adrian Anwar dalam keterangannya yang dikutip VOI Jumat, 20 Januari.
"Tentunya hal ini perlu menjadi perhatian agar generasi-generasi muda tersebut dapat lebih mengenali potensi ancaman siber sehingga dapat memegang tanggung jawab yang lebih besar di masa yang akan datang," imbuhnya.
Pandangan tersebut juga didukung oleh studi yang dilakukan oleh National Cyber Security Alliance (NCSA) yang mendapati kalangan Gen-Z (51 persen) di Amerika Serikat (AS) dan Inggris pernah menjadi korban dari serangan siber dibandingkan dengan kaum Baby Boomers (21 persen).
Meskipun pengguna layanan digital berperan sebagai garda terdepan dalam pelindungan data pribadi mereka sendiri, usaha mitigasi kejahatan siber terkait data pribadi juga tentunya perlu didukung tersedianya inovasi teknologi yang sesuai dengan tren terkini oleh para pelaku bisnis digital.
Pemenuhan akan tuntutan keamanan siber perlu diperhatikan untuk mencegah potensi munculnya keraguan terhadap layanan digital yang berujung pada keengganan dalam melakukan transaksi digital.
Potensi tren tersebut menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis di tengah terjadinya transformasi digital mengingat dapat mempengaruhi ekspansi atau peningkatan skala bisnis.
BACA JUGA:
“Kesadaran akan pentingnya data pribadi dapat dimulai dari ketelitian masyarakat khususnya generasi milenial dan Gen-Z sebelum menggunakan aplikasi dan layanan digital dengan membaca syarat dan ketentuan sebelum memberikan konsen penggunaan data pribadi mereka," ujar Co-Founder & Chief Operating Officer VIDA, Gajendran Kandasamy.
"Masyarakat juga perlu memperhatikan ke mana mereka memberikan data pribadinya dan apakah pihak tersebut telah bersertifikasi dalam mengelola data pribadi penggunanya," tambahnya.
Dengan adanya tuntutan keamanan data pribadi dan kebutuhan teknologi mitigasi kejahatan siber, VIDA sebagai Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSE) yang berinduk di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), menyajikan layanan yang berpusat pada karakteristik konsumen serta mengedepankan familiaritas kenyamanan dan keamanan penggunaannya.
Selain itu pada sisi teknis keamanannya, produk yang dibawakan VIDA juga telah mendapat pengakuan sertifikasi dari pihak ketiga kelas dunia, di antaranya adalah WebTrust, Adobe Approved Trust List, ISO27001, dan Cloud Signature Consortium TSP.