JAKARTA - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengakui banyak alat sirene bencana tsunami yang bermasalah. Untuk itu BMKG akan menggantinya dengan teknologi yang lebih sederhana dan biaya pemeliharaan lebih terjangkau atau murah.
"Selama ini salah satu kendala dalam operasional dan pemeliharaan sirene tsunami adalah terkait dengan biayanya yang cukup mahal dan suku cadang yang sudah tidak diproduksi lagi," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, seperti dikutip dari Antara, Selasa, 17 November.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama ini membangun sirene tsunami dengan biaya yang cukup mahal dan menghibahkannya ke pemerintah daerah untuk dioperasikan dan dipelihara.
Namun, menurut data BNPB, dari 158 sirene yang dipasang tahun 2013 sampai 2014 saat ini tinggal sekitar 58 sirene yang masih beroperasi. Seratus sirene lainnya sudah tidak bisa berfungsi lagi karena keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam memeliharanya.
BACA JUGA:
BMKG sejak tahun 2008 hingga 2015 telah memasang 52 sirene tsunami, enam di antaranya telah dihibahkan ke Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan sembilan sirene lainnya dihibahkan ke Pemerintah Provinsi Bali.
Menurut laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat, seluruh sirene yang dihibahkan ke pemerintah provinsi sudah tidak bisa difungsikan lagi karena tidak terpelihara dengan baik.
BMKG saat ini dalam proses mengganti 19 sirene yang usia operasionalnya sudah habis dan suku cadangnya sudah tidak tersedia lagi di pasaran ataupun pabrikan. BMKG berencana memasang sirene versi sederhana untuk menggantikannya.
"Sirene versi sederhana telah berhasil diuji coba di Labuan Bajo pada tanggal 12 November 2020," kata Dwikorita.
Harapannya, sirene tsunami dengan teknologi lebih sederhana yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) bisa lebih mudah dioperasikan dan lebih murah biaya pemeliharaannya.