Bagikan:

JAKARTA - Selama masa pandemi corona virus atau COVID-19, anak-anak sekolah diwajibkan untuk menempuh pembelajaran jarak jauh atau secara daring. Inggris termasuk negara yang juga menerapkan aturan tersebut.

Namun yang terjadi, Inggris justru mengalami kesenjangan digital. Di mana siswa yang menempuh pendidikan di sekolah negeri lebih sulit mengakses belajar online, dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di swasta.

Metode pembelajaran secara online dari rumah, nyatanya tak disambut positif mayoritas masyarakat. Pasalnya tak semua sekolah tak memiliki akses yang cukup terhadap sumber daya untuk online maupun jaringan internet yang memadai bagi para siswanya. 

Dr Beng Huat See dari Durham University, mengatakan jika pemerintah cukup lambat dalam menyiapkan infrastruktur yang memadai, termasuk akses internet selama pandemi COVID-19 saat ini. Hal ini pula yang mendorong kesenjangan digital di antara anak-anak kaya dan miskin dalam pemenuhan akses pembelajaran secara online

"Bertahun-tahun yang lalu, kami berbicara tentang melengkapi sekolah dan anak-anak miskin dengan akses dan perangkat internet. Ini bukan sesuatu yang baru," ungkap Dr See dalam wawancaranya kepada Xinhuanet, Senin, 3 Agustus. 

Dalam surveinya, banyak guru menyerukan peningkatan investasi pemerintah dalam infrastruktur teknologi, konektivitas internet dan pendanaan di sekolah untuk mendukung penyediaan perangkat digital untuk anak-anak yang kurang beruntung.

Bahkan merujuk data survei dari Kantor Statistik Nasional yang diterbitkan pada 2019, menyatakan bahwa sekitar 60.000 anak berusia 11 hingga 18 tahun di Inggris tidak memiliki konektivitas internet di rumah mereka, dan sekitar 700.000 tidak memiliki perangkat komputer, laptop, atau tablet di rumah.

Sementara itu, menurut laporan The Guardian, seorang wanita yang tinggal di London, menghabiskan hampir setengah dari anggaran rumah tangga mingguannya untuk membeli paket data internet yang digunakan anak perempuan remajanya mengakses belajar online.

"Biaya kami hidup lebih dari 100 pound sterling per minggu dan sebelum lockdown saya menghabiskan sekitar 10 pound sterling per minggu untuk data top-up dan sekarang harganya sekitar 30 sampai 40 pound sterling setiap minggu," kata wanita tersebut.

Pengeluaran tambahan tersebut setara dengan biaya tak terduga lainnya, termasuk untuk keperluan sehari-hari. “Kami hanya memiliki satu ponsel di antara kami bertiga dan saya harus membatasi waktu mereka online karena saya tidak mampu lagi. Saya juga harus meninggalkan rumah untuk membeli paket internet, yang membuat saya sangat khawatir," ungkapnya. 

"Saya tidak bisa online cukup lama untuk mengirim e-mail ke perusahaan utilitas. Saya sudah memberi tahu mereka bahwa kita hanya bisa makan dua kali sehari karena saya tidak mampu membeli makanan lagi," imbuhnya. 

Diketahui, pemerintah Inggris cukup terbilang lambat dalam mengatasi kesenjangan digital ini. Bahkan, mereka belum lama ini meluncurkan sejumlah inisiatif untuk mencoba mengatasi kesenjangan digital yang diperburuk oleh pandemi. Termasuk janji untuk memberi beberapa remaja yang kurang beruntung dengan laptop dan mereka menepatinya.

Sekitar 202.000 laptop gratis telah diberikan kepada keluarga miskin sehingga anak-anak mereka dapat menggunakannya untuk pendidikan. Pemerintah juga telah menghabiskan 4.3 juta pound sterling untuk menyediakan pembelajaran online cadangan selama tahun akademik mendatang. 

Tak hanya itu, mereka juga meminta sejumlah industri telekomunikasi untuk menyumbangkan perangkat, sim, dan hotspot seluler.

"Kami menyadari pentingnya orang-orang yang terhubung dan itulah mengapa kami telah mengambil tindakan untuk menengahi kesepakatan besar dengan perusahaan seluler dan broadband untuk memberikan dukungan penting bagi konsumen yang rentan yang mungkin terkena virus corona," terang seorang juru bicara untuk departemen digital, budaya, media dan olahraga pemerintah Inggris.