Bagikan:

Pemerintah memutuskan efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun pada tahun 2025. Keputusan ini memicu perdebatan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan langkah ini bertujuan memperkuat ekonomi jangka panjang. Namun, di balik tujuan mulia tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah penghematan ini berimbas pada kesejahteraan masyarakat?

Karena dampaknya sudah terasa. Sebanyak 18.000 pegawai dirumahkan karena kontrak kerja mereka tidak diperpanjang. Menteri PUPR Dody Hanggodo menyatakan ini bagian dari upaya transformasi birokrasi menjadi lebih ramping. Bahkan lembaga seperti TVRI dan RRI hampir melakukan hal serupa, meskipun akhirnya dibatalkan. Meski demikian, ribuan pegawai kini menghadapi ketidakpastian, terutama di tengah tekanan inflasi.

Langkah efisiensi anggaran ini juga memotong anggaran di beberapa kementerian. Kementerian Keuangan, misalnya, memangkas Rp8,99 triliun, sementara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah terkena dampak yang mungkin bisa mengganggu program strategis. DPR pun memperingatkan bahwa kebijakan ini mengancam keberlanjutan tenaga honorer dan P3K.

Di tingkat daerah, dampak kebijakan ini juga terasa. Aidinil Zetra dari Universitas Andalas menekankan pentingnya memahami kapasitas daerah yang berbeda-beda. “Kabupaten Mentawai tidak bisa dibandingkan dengan Kota Padang,” tegasnya seperti dilansir dari Antara. Ketimpangan seperti ini bisa semakin parah jika efisiensi tidak mempertimbangkan kebutuhan lokal.

Mohamad Fadhil Hasan dari INDEF seperti dimuat di media, menyoroti dampak kebijakan ini pada tingkat makro. Menurutnya, meski ada pergeseran alokasi anggaran dari kebutuhan administratif ke program prioritas seperti makan bergizi gratis, kebijakan ini tetap memiliki risiko menekan daya beli masyarakat. Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dikutip dari Kontan, mengatakan, pemangkasan ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Khusus di bidang pendidikan, Mendikdasmen menjamin program prioritas tetap berjalan. Namun, dengan pengurangan anggaran yang signifikan, apakah janji ini realistis? Pendidikan, sebagai investasi masa depan, kini menghadapi tantangan berat.

Kebijakan efisiensi juga melahirkan konsep Work From Anywhere (WFA) di beberapa instansi. Meski terdengar modern, banyak yang meragukan efektivitasnya. Kritik muncul, mulai dari potensi penyalahgunaan fasilitas hingga rendahnya produktivitas.

Program makan bergizi gratis senilai Rp171 triliun pada tahun pertama turut menjadi sorotan. Rasanya kita oke-oke saja dengan program ini. Namun, bagaimana jika anak-anak mendapat makan bergizi gratis sementara orang tuanya kehilangan pekerjaan akibat kebijakan efisiensi anggaran?

Kita pernah melihat dampak kebijakan tanpa perencanaan matang, seperti pembatasan penjualan LPG 3 kg. Hanya dalam beberapa hari, kebijakan tersebut memicu antrean panjang hingga korban jiwa. Kebijakan efisiensi ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat menghadirkan risiko serupa.

Namun, efisiensi anggaran tidak sepenuhnya buruk. Jika direncanakan dan dieksekusi dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi momentum reformasi birokrasi dan pembangunan yang lebih inklusif. Tetapi, tanpa transparansi dan evaluasi mendalam, langkah ini hanya akan menjadi bom waktu yang menunggu meledak.

Keputusan di tangan pemerintah. Masyarakat hanya berharap janji efisiensi anggaran yang adil benar-benar terealisasi, bukan justru menambah masalah baru.