Tragedi Kanjuruhan, Duka Olahraga Indonesia
ILsutrasi tragedi kanjurugan. (Antara)

Bagikan:

Dunia olahraga Indonesia berduka. Pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya yang berakhir dengan skor 2-3 berakhir tragis. Hingga Minggu, 2 Oktober, seperti disampaikan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak ada 174 korban jiwa meninggal. Sementara 11 luka berat dirawat di 8 rumah sakit rujukan.

Tragedi Kanjuruhan tersebut menjadi tragedi terbesar di Indonesia dan bahkan nomor dua di dunia. Ada 174 suporter tewas akibat kerusuhan imbas pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di kompetisi Liga 1 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur tersebut.

Jumlah korban tewas di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022) malam sudah melewati tragedi yang terjadi di Accra Sports Stadion, Accra, Ghana. Kejadian di salah satu negara Benua Afrika itu menewaskan 126 orang pada 9 Mei 2001.

Insiden di Stadion Kanjuruhan bermula dari kemarahan suporter tuan rumah yang tidak terima Arema FC kalah 2-3 dari Persebaya. Suporter mengamuk masuk ke lapangan. Dua unit mobil polisi menjadi sasaran amukan suporter. Mobil K9 terbakar dan unit lainnya rusak parah dengan posisi miring.

Petugas keamanan sudah berusaha mencegah kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Namun, karena jumlahnya tak sebanding, petugas akhirnya menembakkan gas air mata sehingga membuat suporter sulit bernafas dan pingsan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Zainudin Amali, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Iwan Bule dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi secara menyeluruh baik pelaksanaan atau pengamanannya.

Presiden Jokowi juga meminta Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa untuk memonitor layanan medis dalam insiden tragedi Kanjuruhan.

Fanatisme Sepak Bola

Tidak bisa dipungkiri sepak bola merupakan olahraga populer di tanah air dan dunia. Penggemarnya sangat fanatik. Sehingga setiap pertandingan sepak bola, apalagi jika tim favorit yang berlaga selalu ramai penonton.

Drama di lapangan bahkan terbawa ke suporter fanatik. Tensi tinggi menular ke penonton. Fanatisme yang cenderung berlebihan. Ingin selalu tim kesayangan menang. Tidak peduli dengan situasi apapun. Saking fanatiknya, suporter seolah mewakili tim kesayangannya. Ingin tim kesayangan selalu menang. Bahkan kadang tidak peduli dengan nyawa. Fanatisme berlebihan ini acapkali dimanfaatkan penyelenggara. Mengabaikan kapasitas stadion.

Bisa jadi ini pula yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Seperti dimuat VOI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, sebelum pertandingan aparat sudah mengajukan berbagai usul. Mulai dari pertandingan digelar sore hari bukan malam hari. Jumlah penonton agar disesuaikan dengan kapasitas stadion yakni 38.000 orang.

Namun sayangnya, kata Mahfud, usul aparat terkait waktu pertandingan hingga jumlah penonton tersebut tidak dilakukan oleh panitia pelaksana. Panitia sangat bersemangat. Pertandingan tetap dilangsungkan malam hari, dan kata Mahfud, tiket yang dicetak jumlahnya 42.000.

Pihak keamanan juga mesti dievaluasi. Terutama soal penggunaan gas air mata. Karena penggunaan gas air mata dilarang FIFA. Tertuang pada Bab III tentang Steward, pasal 19 soal Steward di pinggir lapangan. Dilarang membawa atau menggunakan senjata api atau gas pengendali massa.

Dari kejadian Tragedi Kanjuruhan ini pemerintah, PSSI, pengelola Liga 1 maupun klub mesti berbenah. Pertandingan sepak bola harusnya sebuah tontonan. Sebuah hiburan. Sesuatu yang menyenangkan. Menjadi pemersatu. Jadi semua aspek mesti dievaluasi total. Korban nyawa sudah jatuh. Bahkan menjadi yang terbesar. Menjadi sorotan dunia. Jangan sampai tragedi ini terulang kembali. Pihak yang bertanggungjawab pun harus mendapat sanksi tegas. Jangan dibiarkan. (*)