Ketika Anies Baswedan Ubah Nama Jalan
Jalan H Bokir Bin Dji'un yang baru diresmikan Anies Baswedan menggantikan nama sebelumnya Jalan Raya Pondok Gede. (Foto Antara)

Bagikan:

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengubah beberapa nama ruas jalan dengan nama tokoh Betawi. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 565 Tahun 2022. Anies beralasan perubahan nama tersebut menunjukkan bahwa Jakarta memiliki banyak pahlawan. Kota Jakarta menurut Anies adalah kota perjuangan dan ada banyak pahlawan dan pribadi yang berjasa. Perubahan nama jalan dengan nama tokoh Betawi kata Anies juga merupakan bentuk penghormatan terhadap pahlawan yang gugur. Selain diharapkan dapat menginspirasi banyak orang.

Relatif proses perubahan nama jalan ini dilakukan cepat. Tanpa sosialisasi yang panjang 22 nama jalan di wilayah Jakarta langsung berubah. Dan itu baru tahap pertama. Berikutnya akan ada 31 nama jalan lagi yang akan diubah.

Meski niatnya bagus, tapi perubahan nama jalan tersebut ternyata tidak segampang yang dibayangkan. Berdampak pada warga yang tinggal di wilayah tersebut. Karena nama jalan yang lama ada di berbagai dokumen. Mulai dari KTP, SIM, STNK hingga sertipikat tanah. 

Ini pula yang membuat sejumlah warga protes. Walau kemudian Pemprov DKI, Kakorlantas hingga pejabat BPN DKI Jakarta menyatakan bahwa dokumen dengan alamat lama masih berlaku meski nama jalan berubah. Kalau pun mau diurus, semua biaya digratiskan. Namun tetap saja masih ada warga yang merasa keberatan. DPRD DKI Jakarta bahkan bakal membentuk pansus terkait hal tersebut.

Aturan soal merubah nama jalan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 28 Tahun 1999. Di Kepgub tersebut dalam Bab IV Pasal 4 disebutkan penetapan nama jalan didasarkan pada prinsip:

1.     Mudah dikenali masyarakat,

2.     Menggunakan nama daerah atau lingkungan setempat yang sudah dikenal masyarakat,

3.     Penggunaan nama pahlawan dipertimbangkan sesuai sifat kepahlawanannya,

4.     Tidak bertentangan dengan kesopanan dan ketertiban umum,

5.     Tidak mengubah atau mengganti nama yang sudah tertanam di hati masyarakat dan mempunyai nilai sejarah bagi tempat tersebut,

6.     Tidak bersifat promosi atau reklame,

7.     Harus disesuaikan dengan kepentingan, sifat, dan fungsi jalan, taman, dan bangunan umum yang bersangkutan,

8.     Menggunakan nama jalan, taman, dan bangunan umum yang sejenis dalam kompleks atau lingkungan tertentu,

9.     Cabang satu jalan harus menggunakan nama jalan tersebut dengan angka romawi, dengan urutan kecil adalah yang paling dekat Monas dan atau jalan arteri/kolektor/lokal yang terbesar,

10.  Khusus untuk lingkungan yang sudah teratur dan tertib serta sudah mempunyai nama jalan, maka penetapan nama jalan tersebut didasarkan pada kondisi nyata di lapangan.

Pada prinsipnya mengubah nama jalan memang diatur oleh kepala daerah. Parameternya juga jelas. Sangat rinci ditulis. Menjadi soal jika terkesan dipaksakan. Apalagi di beberapa ruas jalan yang namanya diubah merupakan jalan raya yang sering dilintasi dan sudah tertanam dalam benak masyarakat. Sebuah kerepotan bukan sekedar hanya urusan adminiatratif.

Sekali lagi, mengubah  nama jalan menjadi nama tokoh-tokoh Betawi tidak ada yang salah. Itu bentuk penghormatan. Apalagi tokoh-tokoh yang dijadikan nama jalan merupakan pahlawan. Punya rekam jejak yang terukur. Sementara nama seniman Betawi yang dijadikan merupakan tokoh populer.

Sebenarnya beberapa tahun silam Pemkot Jakarta Selatan juga mengubah nama jalan Mampang Raya menjadi nama Jendral AH Nasution. Lurah di sekitar wilayah tersebut malah sudah melakukan sosialisasi. Namun perubahan tersebut tidak berjalan mulus. Sejumlah warga protes karena merepotkan. Bahkan dalam jejak digital di media, waktu itu sejarawan Betawi JJ Rizal juga ikut protes. Alasannya poin nomor 5 dalam Kepgub yakni tidak mengubah atau mengganti nama yang sudah tertanam di hati masyarakat dan mempunyai nilai sejarah bagi tempat tersebut.

Karena banyak yang protes, waktu itu di media Anies Baswedan sebagai gubernur sempat mengeluarkan pernyataan kalau perubahan nama jalan harus ada Kepgub dan meminta lurah agar menyetop sosialisasi pergantian nama jalan. Dan, hingga kini perubahan nama jalan tersebut tidak jelas. Bisa jadi dibatalkan. Mungkin pula di tahap kedua, nama jalan Mampang Raya berubah. Jadi, ketika saat ini mengubah nama jalan juga mesti mempertimbangkan poin nomor 5 Kepgub yang kata Anies seperti pernah dimuat di media, Kepgub yang dikeluarkan era Gubernur DKI Jakarta dijabat Sutiyoso tersebut akan direvisi.

Sejatinya akan lebih pas kalau memberi nama jalan yang benar-benar baru atau belum punya nama resmi. Kalau pun mau mengubah nama jalan yang sudah ada, mesti dilakukan sosialisasi secara masif agar nuansa politis di balik perubahan nama jalan itu tidak santer terdengar. Nuansa politis ini menjadi wajar mengemuka karena seperti diketahui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan banyak disebut digadang bakal maju di Pilpres 2024. Upaya mengganti nama jalan disinyalir merupakan bentuk mencari hati warga DKI Jakarta jelang berakhirnya masa jabatan sebagai gubernur.

Tapi, apa pun itu, sekali lagi perubahan nama jalan sah-sah saja. Preogratif gubernur yang sudah diatur. Tapi saat melakukannya harus ada parameter. Pemilihan nama juga harus menggunakan metode tertentu. Misal, jangan sampai ada pertanyaan kenapa nama Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta yang legendaris dan banyak disebut punya jasa besar mengubah kota Jakarta menjadi kota metropolitan tidak dijadikan nama jalan?