Bagikan:

JAKARTA - Olimpiade Paris 2024 secara terang-terangan menyambut tangan terbuka terhadap atlet yang menidentifikasi sebagai LGBTQ+ untuk berlaga.

Jumlah atlet LGBTQ+ yang berkompetisi di Paris bahkan memecahkan rekor. Bermodal jargon inklusi dan keberagaman, ada 191 atlet secara terbuka mengatakan bahwa mereka LGBTQ+ dan berpartisipasi di Olimpiade 2024.

Menurut Outsports, sebuah organisasi yang menyusun basis data atlet Olimpiade, menyebut sebagian besar atlet perempuan menginentifikasi secara terbuka sebagai queer.

Jumlah itu telah mengalahkan rekor sebelumnya, yaitu 186 atlet pada Olimpiade Tokyo 2024. Tak heran, muncul perkiraan bahwa jumlah itu akan bertambah pada Olimpiade mendatang.

"Semakin banyak orang yang keluar. Mereka menyadari pentingnya untuk terlihat karena tidak ada cara lain untuk mendapatkan representasi," kata Jim Buzinski, salah satu pendiri Outsports.

Jumlah orang yang bersedia menjadi pusat perhatian sebagai atlet Olimpiade LGBTQ+ telah meroket dalam beberapa dekade terakhir.

Buzinski mengatakan bahwa ketika mereka mulai melacak jumlah peserta di Olimpiade Sydney 2000, mereka hanya menghitung sekitar lima orang.

Penyelenggara Olimpiade Paris telah menggarisbawahi keberagaman dan inklusivitas sebagai tema utama. Penampilan waria dalam upacara pembukaan juga menunjukkan hal itu meski menuai reaksi keras dari kaum konservatif religius.

"Di dunia Olimpiade, kita semua termasuk," kata Thomas Bach, Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), dalam pidatonya pada upacara pembukaan.

Karena itu, reputasi Paris sebagai 'Kota Cinta dipandang para pendukung LGBTQ+ bahwa Olimpiade Paris adalah kesempatan bagi para atlet yang berasal dari belahan dunia mana pun untuk secara terbuka menyatakan diri LGBTQ+.

"Datang ke Paris, datang ke Perancis, mereka bisa menjadi diri mereka yang sebenarnya," kata Jeremy Goupille, salah satu Ketua Pride House di Olimpiade Paris 2024.

Aplikasi LGBTQ+

Pride House, merupakan rumah khusus bagi atlet, relawan, dan pengunjung LGBTQ+ yang menghadiri Olimpiade, Paralimpiade, atau acara olahraga internasional lainnya di kota tuan rumah.

Pride House pertama kali muncul pada Olimpiade Musim Dingin Vancouver 2010.

Goupille mengatakan masalah keamanan masih muncul bagi banyak atlet LGBTQ+. Aplikasi kencan dan memperluas jaringan, seperti Grindr, Bumble, dan Tinder, telah lama digunakan sebagai tameng bagi atlet tersebut yang ingin terhubung dengan orang-orang sejenisnya di negara tempat mereka berkompetisi tanpa merasa terekspos di depan umum.

Namun, ia mengatakan pada Olimpiade sebelumnya, beberapa orang telah mencoba mengekspos atlet LGBTQ+ yang tidak secara resmi terbuka dengan memeriksa tinggi, berat, dan lokasi orang-orang di aplikasi tersebut.

Karena itu, Grindr mengumumkan bahwa di Paris mereka telah menonaktifkan fitur berbasis lokasi di Perkampungan Atlet dan area Olimpiade resmi lainnya.

Hal itu akan memungkinkan atlet LGBTQ+ untuk terhubung secara autentik tanpa khawatir tentang mata-mata yang mengintip atau perhatian yang tidak diinginkan.

Aplikasi tersebut membuat keputusan yang sama untuk Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.

"Jika seorang atlet tidak terbuka atau berasal dari negara di mana menjadi LGBTQ+ berbahaya atau ilegal, menggunakan Grindr dapat membuat mereka berisiko diungkap oleh orang-orang yang ingin tahu serta mungkin mencoba mengidentifikasi dan mengekspos mereka di aplikasi tersebut," kata Grindr dalam sebuah pernyataan.

Akomodasi kencan LGBTQ+ yang mendapat dukungan di Olimpiade Paris 2024 beberapa waktu lalu menuai kecaman. Namun, tetap saja, Perancis sebagai tuan rumah sangat melindungi.

"Anda harus melindungi mereka karena begitu banyak orang jahat. Pada saat yang sama, ada begitu banyak atlet cantik. Mereka ingin bertemu seseorang dan itu sulit," kata Goupille.

Sebelumnya, Olimpiade Paris 2024 sempat menuai kritik lantaran muncul isu atlet tinju transgender yang diizinkan bertanding.

Belum lagi soal dukungan keamanan Perancis terhadap atlet Israel di tengah kecaman penolakan dan gerakan pro-Palestina.