JAKARTA - Transparansi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai penghimpun dan pendistribusi royalti musik, jadi satu hal yang banyak dikeluhkan para pelaku industri musik, tidak hanya oleh musisi atau penulis lagu, namun juga penyelenggara event musik.
Dalam revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, Melly Goeslaw sebagai penyanyi-penulis lagu sekaligus anggota DPR RI Komisi X mengatakan, kita memerlukan LMK yang lebih profesional.
Saat menggelar forum group discussion (FGD) dengan pelaku musik Tanah Air di DPR pada Senin, 18 November kemarin lusa, Melly ingin LMK yang transparan dan bertanggungjawab.
“Perlu dipertajam juga unsur-unsur yang mengandung syarat mendirikan LMK, transparansi distribusi dan pertanggungjawaban segalanya kepada pemegang hak cipta,” kata Melly, mengutip video unggahannya di Instagram, Rabu.
Pelantun “Bimbang” itu juga ingin platform yang ada di Indonesia, menempatkan kantor perwakilannya di sini.
“Dan syarat mendirikan atau menjalankan bisnis di sini juga harus ketat. Jangan sampai ada e-commerce atau platform yang tidak memiliki kantor perwakilan di sini, sehingga income yang dihasilkan tidak mengalir pajaknya pada negeri kita,” katanya.
Melly juga menyoroti perlunya revisi ini untuk adaptif dengan perkembangan teknologi di era digitalisasi. Menurutnya, banyak potensi pelanggaran hak cipta melalui dunia digital.
BACA JUGA:
“Digitalisasi membuka potensi pelanggaran hak cipta dalam berbagai bentuk. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan tata kelola dan regulasi yang mampu menyesuaikan dengan dinamika digital,” ujarnya.
“Platform digital seperti media sosial, situs berbagai konten, dan platform streaming menjadi tempat utama distribusi karya cipta saat ini. Namun, pengelolaan hak cipta di platform ini sangat menantang karena konten mudah diunggah dan didistribusikan secara masif oleh pengguna. Platform digital seringkali kesulitan memantau pelanggaran hak cipta secara menyeluruh, terutama dalam mendeteksi konten yang dipublikasikan dan digunakan tanpa izin,” lanjutnya.
Dia juga menyebut pembaruan UU Hak Cipta harus mempertimbangkan harmonisasinya dengan standar internasional dan praktik terbaik global dalam perlindungan hak cipta.
Terkait perkembangan teknologi yang begitu masif untuk industri musik yang menjadi salah satu objek yang diatur dalam UU Hak Cipta, Melly juga melihat perlunya pertimbnagan hukum lebih lanjut.
“Teknologi seperti AI dan deep learning menimbulkan pertanyaan baru tentang konsep hak moral dalam hak cipta. Perlu ada panduan yang jelas mengenai atribusi dan integritas karya yang dihasilkan atau dimodifikasi,” pungkasnya.