Bagikan:

JAKARTA - Musik jazz, sejak awal kemunculan hingga perkembangannya selalu menyelipkan kisah menarik.

Bermula dari musik hiburan para budak Afrika di Amerika Serikat, iringan tari di rumah bordil, hingga menjadi musik yang digandrungi masyarakat muktikuktur di perkotaan.

Di Indonesia sendiri, jazz mulai dikenal sebagai musik hiburan bagi orang Barat, khususnya Belanda pada masa pra-kemerdekaan.

Jazz biasa dimainkan di tempat pertunjukan megah.

Kemudian, jazz di Indonesia dikenal sebagai musik masyarakat perkotaan. Para pendengarnya kerap berasal dari kalangan mahasiswa dan kelas menengah di kota-kota besar.

Namun, pada abad 21, Jazz mulai diperkenalkan kepada masyarakat yang dianggap belum pernah mengenalnya. Festival musik jazz tidak hanya digelar di kampus atau perkotaan, namun hingga di pedesaan.

Sejauh ini, festival musik jazz sudah digelar di pemukiman warga, pematang sawah, daerah pegunungan, tepi sungai dan ikon wisata lokal.

Mus Mujiono jadi salah satu musisi jazz Tanah Air yang melihat baik perkembangan jazz di Indonesia. Dari ramainya penonton dan keterlibatan banyak pihak, ia merasa jazz sudah dinikmati hingga pelosok desa.

“Ya kita bisa lihat dari audiens atau penonton yang ada. Kenapa sekarang terbuka? Itu terbukti bahwa musik jazz sudah dicintai dan masuk ke pelosok-pelosok kampung. Jadi, terbukti dari penonton-penonton yang membludak,” kata Mus Mujiono saat ditemui di Probolinggo, Jawa Timur, Jumat, 21 Juli.

Penyanyi sekaligus gitaris asal Surabaya itu pun menceritakan pengalamannya saat bermain di salah satu lokasi wisata yang ada di Yogyakarta, Candi Prambanan.

“Kemarin saya dari Prambanan juga full (penontonnya), bagus-bagus yang datang. Mereka antusias dan happy sekali untuk menonton musik jazz di Prambanan atau di tempat-tempat lain. Ini terbukti bahwa jazz itu disukai masyarakat,” tutur Mus Mujiono.

Namun, Mus Mujiono belum sepakat jika jazz disebut sebagai media pemersatu dan titik temu bagi masyarakat perkotaan dengan pedesaan, serta budaya Barat dengan budaya Indonesia.

“Belum, tingkat ke situ masih belum, saya pikir,” katanya.

Mencoba membandingkan musik jazz dengan sepak bola, Mus Mujiono mengatakan jika musisi dan para pelaku musik jazz harus lebih sering mengadakan pertunjukan di kampung, jika ingin jazz jadi media pemersatu.

“Untuk pandangan kacamata saya pribadi, (musik jazz) belum seperti sepak bola. Untuk menyatukan itu harus sering-sering membawakan atau sering-sering masuk kampung untuk mengadakan pertunjukan,” pungkas Mus Mujiono.