JAKARTA - Mempertemukan dua band rock legendaris dalam satu panggung setelah 48 tahun butuh keberanian. Tapi, menambahkan satu grup musik legendaris lainnya sebagai surprise guest star merupakan tindakan berisiko. Apalagi grup ini mengusung genre dangdut.
Apa penonton yang didominasi penggemar musik rock mau menerima? Apa penonton bule yang datang jauh-jauh dan sudah menggelontorkan uang banyak tidak merasa dirugikan? Rajawali Indonesia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekaligus berhasil membuat semuanya jadi menarik.
Jumat, 10 Maret, malam, di Edutorium UMS, Solo, pertemuan kedua Deep Purple (Inggris) dengan God Bless (Indonesia) sejak 1974 yang 'disusupi' Rhoma Irama dan Soneta Group (Indonesia) tidak membuat muruah konser ini ternodai. Meski tampak ada sedikit insiden saat Rhoma Irama membuka penampilannya, repertoar guitar oriented yang disajikan Bang Haji - sapaan akrab Rhoma Irama - membuat para penggemar musik rock bergoyang nikmat.
Insiden bermula ketika Rhoma Irama membuka penampilannya dengan memainkan intro lagu milik Deep Purple, Smoke on the Water. Lantas, salah satu kru Deep Purple naik ke panggung dan terlihat menghentikan aksi Rhoma Irama memainkan lagu itu. Gila! Orang yang dianggap 'raja' di negeri ini dihentikan oleh kru sebuah band. Ini tentu peristiwa langka, bukan? Pasalnya, sebelum insiden ini, cuma pemerintah era orde baru (Orba) yang berani menghentikan (mencekal, Red) Rhoma Irama bernyanyi. Bukan orang bule.
Menanggapi insiden ini, CEO Rajawali Indonesia, Anas Syahrul Alimi mengatakan bahwa kru Deep Purple tidak menyetop Rhoma Irama. Melainkan karena ada sesuatu yang harus dia ambil di atas panggung.
"Ada yang ketinggalan, kertas... Jadi diambil (sama kru). Kehadiran Rhoma Irama dalam konser ini diketahui Deep Purple. Bahkan, mereka tahu Bang Haji akan memainkan intro lagu ini (Smoke on the Water). Sudah clear ya," tutur Anas.
Lantas, sang Raja Dangdut menggelontorkan lagu Nafsu Serakah yang memang kerap kali disandingkan dengan intro Smoke on the Water. Penonton berbaju hitam mulai bergoyang tipis-tipis sambil sedikit malu-malu. Tapi, tetap tulus sehingga slogan "semua rocker akan dangdut pada waktunya" bukan sekadar isapan jempol belaka. Malam itu. Kemudian, Seni, Badai Fitnah, dan Hari Berbangkit berkumandang hingga sang Raja Dangdut turun dari singgasananya.
Diakui Anas, dipilihnya Rhoma Irama sebagai suprise guest star bukan tanpa alasan. Penggemar musik sejati Tanah Air juga tahu benar, musik Rhoma Irama sangat dipengaruhi oleh Deep Purple. Musisi yang sejak kecil akrab disapa Oma ini adalah orang yang bertanggung jawab atas lahirnya subgenre baru dalam dangdut. Dia merevolusi orkes Melayu jadi dangdut dengan penambahan lead guitar dalam komposisi lagu-lagunya.
Cita rasa gitar rock berdistorsi berhamburan dalam beberapa nomor milik Rhoma Irama. Pengaruh sound gitar rock itu didapatkan Rhoma Irama dari Ritchie Blackmore, gitaris pertama Deep Purple. Menurutnya, musik yang dikibarkan oleh Deep Purple adalah rock yang bisa dinikmati, sound-nya sangat melodius dan cocok dengan dangdut.
Tapi, ada hal yang tidak kalah mengejutkan dari seorang Rhoma Irama seperti diungkapkan Anas. Sang Raja Dangdut bersedia namanya tidak disebutkan sebagai penampil pada seluruh media promosi Rajawali Indonesia. Alasannya, demi bisa satu panggung dengan Deep Purple.
"Saya kira, untuk sekaliber Raja seperti Bang Haji, dia akan gengsi. Tapi ternyata dia bersedia untuk tidak disebutkan namanya sampai hari dia naik ke atas panggung. Karena memang ini kan temanya mempertemukan Deep Purple dengan God Bless lagi setelah 48 tahun. Saya takjub (sama Bang Haji)," beber Anas.
Pertemuan Rhoma Irama dengan God Bless sendiri malam itu jadi yang keempat sepanjang sejarah karier kedua grup musik ini. Pertama, pada 1977 dalam konser bertajuk Damai di Ujung Tahun yang digelar di Senayan. Kedua, dalam konser Apresiasi Musik Anak Muda 1985 di tempat yang sama. Dan ketiga, dalam konser Re:creating God Bless - Soneta Group di Bengkel Space, SCBD pada Desember 2021.
Sementara itu, reuni dua raja rock God Bless dengan Deep Purple benar-benar jadi konser berkelas. Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (kibor), Fajar Satritama (drum), dan additional bassist Arya Setyadi menyuguhkan repertoar terbaiknya yang didominasi lagu-lagu berdistorsi.
Dari Huma di Atas Bukit sebagai pembuka, lantas Musisi, Blablabla, Kehidupan, Cermin, Bara Timur, Bis Kota, Panggung Sandiwara, Rumah Kita, Semut Hitam, dan ditutup dengan Trauma. Semuanya dibawakan penuh gairah. Jika melihat setlist, hanya Anak Adam yang urung dibawakan. Entah alasannya apa.
Lantas, Deep Purple membuka aksi mereka dengan lagu Highway Star. Dilanjut dengan Pictures Of Home, No Need Shout, Nothing At All, Lazy, When A Blindman Cries, Anya, Perfect Strangers, Space Truckin', Smoke on the Water, Hush, dan Black Night. Ini belum termasuk solo gitar dan kibor.
Deep Purple yang kali ini beranggotakan Ian Gillan (vokal), Ian Paice (drum), Roger Glover (bass), Don Airey (kibor), dan Simon McBride (gitar) tampil memukau dengan dukungan tata suara dan tata cahaya mengagumkan. Sekarang, mari tujukan pandangan kita kepada Simon McBride yang menggantikan Steve Morse sejak tahun lalu. Selain permainan gitarnya mulus, dia juga mampu menjaga nilai-nilai substansial lagu-lagu ikonik era Ritchie Blackmore.
Simon McBride mengatakan dalam sesi konferensi pers, memainkan licks Ritchie Blackmore pada lagu-lagu klasik seperti Highway Star dan Smoke on the Water adalah tentang memberi rasa hormat.
"Ini (Highway Star dan Smoke on the Water) adalah musik klasik ikonik yang sudah dikenal sejak lama dan (licks) ini adalah bagian dari lagu itu. Saya tidak mungkin mencopotnya begitu saja dan menggantinya dengan versi saya. Misalnya solo Highway Star, saya tidak akan mengubah itu. Jadi, inilah saya," tutur Simon McBride.
Senada dengan sang gitaris, Ian Paice - satu-satunya member orisinal yang masih bertahan di Deep Purple - mengatakan bahwa memainkan solo gitar sebuah lagu mirip seperti aslinya adalah menghormati musik yang membekas di hati penggemar.
"Kamu tidak perlu mengopi not per not. Tapi, cukup bagian penting yang dikenal banyak orang, itulah cara kamu memainkannya, sehingga ini adalah tentang rasa hormat," timpal dia.
Ian Gillan menambahkan, sebagai seorang profesional dan penggemar, ketika kita menggantikan posisi orang yang kita idolai adalah menghargai sang idola.
"Saya bukan pemain gitar dan tidak bicara atas nama Simon. Tapi, ketika kamu memainkan lagu yang versi aslinya bukan kamu yang main, apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan menanganinya secara profesional dengan memasukkan bagian dari solo orisinal yang ingin didengar orang dan kamu bebas mengubah bentuknya dan merestorasinya. Mungkin pada bagian awal dan akhir solo itu, atau beberapa bagian di tengahnya," urai Ian Gillan.
"Seperti itulah Steve Morse menanganinya (ketika menggantikan Ritchie Blackmore, Red). Dan juga Joe Satriani. Tidak ada yang mainnya persis seperti aslinya setiap malam (di panggung), tapi (mempertahankan) bagian yang ingin didengar fans adalah yang paling penting."
BACA JUGA:
Vokalis 77 tahun itu melanjutkan, bermain seperti Simon McBride adalah soal bagaimana seorang gitaris menumpahkan isi hati dan jiwanya dengan kreativitas yang dia miliki.
"Ketika Steve Morse bergabung dengan band ini, seseorang bertanya bagaimana rasanya mengenakan sepatu Ritchie Blackmore. Dan dia menjawab, 'saya rasa Ritchie membawa sepatunya ketika dia meninggalkan band ini'. Saya rasa itu jawaban yang cukup bagus. Dia (Ritchie) meninggalkan warisannya dan yang lainnya juga meninggalkan warisan mereka sendiri. Menciptakan bagiannya masing-masing dalam band ini. Itu yang penting. Dan sekarang kami memiliki Simon dan dia melakukan tugas yang sangat luar biasa. Seperti yang dikatakan (mendiang) istri saya tahun lalu: 'Kamu kembali mendapatkan mojo (jimat) kamu'. Itu yang paling penting."
Sejarah adalah kisah para pemenang. Ketika Alexander Agung merompak banyak kapal, dia disebut Conquestadores, Sang Penakluk. Tapi saat orang biasa merompak sebuah kapal, dia dianggap perampok. Sejarah adalah catatan para 'penguasa'. Dan orang-orang 'kalah', tiada tempat baginya untuk menuturkan kisahnya sendiri.
Deep Purple, God Bless, dan Rhoma Irama sama-sama pemenang. Sederajat. Mereka tidak saling mengalahkan. Karena ini bukan perang. Bukan pula perkara salah satu genre lebih baik dari lainnya. Karena itu masalah pilihan. Juga bukan soal seni lokal atau seni asing yang harus didahulukan. Karena ini bukan tentang penghambaan.
Dengan menempatkan tiga raja dalam satu panggung, Anas Syahrul Alimi (Rajawali Indonesia) telah menciptakan sejarah. Bukan dengan pedang atau senapan, melainkan dengan terobosan dan keberanian. Dan seperti kata Deep Purple, ini adalah tentang rasa hormat.