Hari Pertama Salihara Jazz Buzz: Sajikan Musik Unik dengan Tata Suara Menggugah 
Gerald Situmorang (gitar) dan Sandikala Ensemble (Foto: Witjak Widhi Cahya)

Bagikan:

JAKARTA - Hari pertama Salihara Jazz Buzz sukses digelar. Sabtu, 4 Februari 2023, festival jazz tahunan yang selalu menghadirkan talenta-talenta baru lewat program Open Call itu, kali ini memilih grup musik asal Yogyakarta bernama Sandikala Ensemble sebagai penampil.

Sandikala Ensemble terdiri dari Yustiawan Paradigma Umar (gender 1), Suseno Setyo Wibowo (gender 2), Roni Driyastoto (rebab 1), Mustika Garis Sejati (rebab 2), Dwi Ariyanto (rebab 3), dan Muhammad Khoirur Roziqin (gong dan elektronik).

Grup ini digagas oleh Dion Nataraja dan Yustiawan Paradigma Umar sejak 2021. Dion Nataraja sebagai komponis sekaligus direktur artistik Sandikala Ensemble - saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Universitas California - menawarkan konsep yang lebih dalam pada improvisasi gamelan dan jazz.

Aksinya dimulai pada pukul 20:00 WIB. Ditandai cahaya lampu yang kian memudar, langkah MC (master of ceremony) mulai terdengar memasuki ruang pertunjukan. Berhenti sejenak ketika lampu mulai menyorot dirinya, lalu menjelaskan acara dan peraturan dengan mik dalam genggaman.

Semua penonton bertepuk tangan saat Sandikala Ensemble menghampiri alat musik mereka. Memanfaatkan momen tersebut, untuk menghidangkan penampilan terbaiknya.

Lagu pertama yang berjudul Herutjokro as Posthuman dimainkan. Rasa merinding langsung menggerogoti. Nuansa horor yang dibangun oleh para pemain yang fokus menyimak masing-masing partiturnya menghiasi seisi ruangan. Tentunya, didukung pula oleh semarak lampu pertunjukan yang ciamik.

Lagu pertama selesai. Para pemain rebab dan gender 2 menghilang ke backstage, kecuali Yustiawan. Sebagai pemain gender 1, ia langsung menjelaskan konsep dalam lagu berikutnya. Lalu, memainkan musiknya.

Sri Hanuraga (kibor), Gerald Situmorang (gitar), dan Sandikala Ensemble (Foto: Witjak Widhi Cahya)

"Lagu ini adalah improvisasi gender yang langsung diproses melalui komputer, dengan Mas Dion Nataraja sebagai komposernya. Kami persembahkan ini dia, Hyperkembangan X," ungkap Yustiawan.

Penampilan ini turut dibantu oleh Muhammad Khoirur Roziqin. Performa mereka mampu menghasilkan raut muka antusias penonton. Binar lampu yang terpancar juga sangat cocok mengiringi lagu ini.

Usai lagu kedua, para pemain yang tadi menghilang di balik backstage kembali memegang alat musiknya masing-masing di hadapan penonton. Lagu ketiga yang berjudul Hyperkembangan III terasa lebih dinamis dibandingkan lagu-lagu sebelumnya. Nuansa yang mengisi lagu ini bercampur aduk.

Menuju bagian akhir lagu, permainan mereka mulai menunjukkan klimaksnya. Alat musik gender langsung dimainkan oleh empat orang, yang dimainkan secara bersahutan. Tepuk tangan penonton pun terasa lebih keras dari sebelumnya.

Kolaborasi yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Sri Hanuraga mulai menghampiri kibornya, dan Gerald Situmorang dengan gitar fretless-nya.

Mereka memainkan kembali lagu Hyperkembangan III dengan konsep yang terinspirasi dari buku puisi karya T.S. Eliot bertajuk Wasteland. Jelas sekali sangat berbeda. Tambahan distorsi gitar dari Gerald Sitomurang dibarengi dengan sound kibor 'planet' Sri Hanuraga, tentunya diikuti juga oleh Sandikala Ensemble yang semakin menyimak kertas partiturnya, benar-benar bikin kagum.

Lalu, semua itu ditutup dengan suara 'jangkrik' yang ditinggalkan begitu saja.

Paruh kedua kolaborasi mereka dimulai. Kali ini, membawakan lagu berjudul Improvisation I. Lagi-lagi, sangat berbeda dari lagu sebelumnya. Selain karena sound gitar Gerald Situmorang dan Sri Hanuraga yang berubah, permainan mereka terasa seperti asal-asalan. Tapi kami yakin, itu adalah bagian dari konsep.

Menuju bagian akhir, temponya semakin cepat. Permainan mereka didukung juga oleh distorsi dari ketiga pemain rebab. Kolaborasi kontemporer yang sangat dahsyat!

Sudah berlangsung hampir satu jam, Sandikala Ensemble beserta Gerald Situmorang kembali ke balik backstage. Tersisa Sri Hanuraga berdiri sendiri. Sebelum mengakhiri pertunjukan, ia menyampaikan tentang konsep yang akan disajikannya sekaligus mengucapkan terima kasih kepada penonton dan pihak yang terlibat dalam acara ini.

"Kali ini saya akan solo piano, tidak tepat memang, karena mereka hadir dalam ketidakhadiran mereka. Penampilan tadi distorsi gamelan jawa, kali ini saya akan melakukan distorsi juga terhadap genre modern dalam jazz, yaitu bebop. Selamat menikmati!" ucapnya.

Cahaya lampu putih langsung menyorot Sri Hanuraga. Dia mulai menekan pianonya. Mukanya tampak serius mengikuti arah jemarinya yang menari. Ternyata, piano yang kian memudar pada akhir lagu itu sekaligus jadi penutup hari pertama Salihara Jazz Buzz dengan kepungan tepuk tangan penonton.

Sri Hanuraga (Foto: Witjak Widhi Cahya)

Senyum semringah tampak dari wajah para penampil, kian merona. Terbukti pada candaan yang disampaikan Gerald Situmorang untuk menutup perjumpaannya dengan kami.

"Sampai jumpa, ciluk ba!" ucap Gerald Situmorang sambil tertawa.

Perasaan senang turut dirasakan para penonton. Bagaimana tidak? Musik yang disajikan sangat unik. Tentunya, didukung oleh kualitas tata suara dan lighting yang menggugah. Sungguh, terlalu murah harga tiket yang ditawarkan event elegan ini.