Bagikan:

JAKARTA - Pada 29 Oktober 2015, China memutuskan untuk mencabut peraturan satu anak yang telah diberlakukan beberapa dekade. Tapi itu juga tak sepenuhnya bebas. Partai Komunis China mengizinkan pasangan suami istri punya dua anak.

Diwartakan The Guardian, China akan "sepenuhnya menerapkan kebijakan yang mengizinkan setiap pasangan memiliki dua anak sebagai respons aktif terhadap populasi yang menua," kata Partai Komunis China dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan oleh Xinhua, kantor berita resmi. “Perubahan kebijakan ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan perkembangan populasi dan menjawab tantangan populasi yang menua.”

Beberapa orang merayakan langkah tersebut sebagai langkah positif menuju kebebasan pribadi yang lebih besar di China. Tetapi para aktivis dan kritikus hak asasi manusia mengatakan pelonggaran itu berarti Partai Komunis terus mengendalikan jumlah keluarga China. Penegakan hak asasi manusia masih tidak berjalan baik.

“Negara tidak punya urusan mengatur berapa banyak anak yang dimiliki orang,” kata William Nee, aktivis Amnesty International yang berbasis di Hong Kong. “Jika China serius menghormati hak asasi manusia, pemerintah harus segera mengakhiri kontrol invasif dan hukuman seperti itu atas keputusan orang untuk merencanakan keluarga dan memiliki anak.”

Para ahli demografi di dalam dan di luar China telah lama memperingatkan tingkat kesuburan yang rendah, yang menurut para ahli yaitu antara 1,2 dan 1,5 anak per wanita, mendorong negara itu menuju krisis demografis. Sejak 2013, pelonggaran bertahap undang-undang keluarga berencana China dilakukan. Keluarga etnis minoritas dan pasangan pedesaan yang anak sulungnya perempuan diizinkan memiliki lebih dari satu anak.

Sebelum dihentikan, pasangan yang melanggar kebijakan satu anak akan menghadapi berbagai hukuman. Mulai dari denda dan kehilangan pekerjaan hingga aborsi paksa. Seiring waktu, kebijakan tersebut dilonggarkan di beberapa provinsi, karena ahli demografi dan sosiolog mengangkat kekhawatiran tentang meningkatnya biaya sosial dan penurunan jumlah pekerja.

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Kebijakan sejak 1970an

China mulai mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi dan keluarga berencana dengan berdirinya Republik Rakyat pada 1949, meskipun upaya tersebut tetap sporadis dan sukarela sampai setelah kematian Mao Zedong pada 1976. Pada akhir 1970-an penduduk China dengan cepat mendekati angka satu miliar.

Kepemimpinan baru yang dipimpin oleh Deng Xiaoping mulai memberikan pertimbangan serius untuk membatasi pertumbuhan penduduk yang cepat. Sebuah program sukarela lalu diumumkan pada akhir 1978 yang mendorong keluarga untuk memiliki tidak lebih dari dua anak, satu anak lebih disukai.

Pada 1979, permintaan untuk kebijakan satu anak per keluarga pun tumbuh. Persyaratan dibuat lebih ketat diterapkan secara tidak merata di seluruh negeri dan pada 1980, pemerintah pusat berusaha untuk menstandarisasikan kebijakan satu anak secara nasional. Pada 25 September 1980, sebuah surat publik—diterbitkan oleh Komite Sentral Partai Komunis China —menyerukan semua untuk mematuhi kebijakan satu anak. Tanggal tersebut sering disebut sebagai waktu “resmi” kebijakan satu anak.

Mengutip BBC, kebijakan satu anak ini diperkirakan telah mencegah sekitar 400 juta kelahiran. Korban manusia sangat besar yaitu dengan sterilisasi paksa, pembunuhan bayi dan aborsi selektif jenis kelamin yang telah menyebabkan ketidakseimbangan gender yang dramatis. Hal tersebut mengakibatkan jutaan pria di China tidak bisa memiliki pasangan wanita.

Para penentang kebijakan tersebut mengatakan kebijakan satu anak menciptakan “bom waktu” demografis, dengan 1,3 miliar penduduk China menua dengan cepat dan kumpulan tenaga kerja negara yang menyusut. PBB memperkirakan bahwa pada 2050 China akan memiliki sekitar 440 juta orang berusia di atas 60 tahun. Sementara penduduk usia kerja turun sebesar 3,71 juta pada 2014, sebuah tren yang diperkirakan akan terus berlanjut.

Masalah baru

Jika sebelumnya banyak pasangan yang memiliki satu anak karena kebijakan pemerintah, saat ini banyak keluarga yang memilih untuk memiliki satu anak atas keinginannya. Urbanisasi yang cepat, pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, emansipasi perempuan dan lebih banyak partisipasi tenaga kerja perempuan membuat banyak pasangan tetap memutuskan untuk hanya memiliki satu anak. Biaya membesarkan anak-anak di kota-kota telah mengurung niat banyak pasangan di China untuk memiliki anak.

Selain itu, banyak wanita yang tinggal di kota-kota mahal seperti Beijing dan Shanghai yang menunda atau menghindari kehamilan. Banyak wanita lajang juga yang lebih mengutamakan berkarier daripada berkeluarga, yang semakin memperkecil angka kelahiran. Walaupun mereka yang tinggal di pedesaan cenderung masih mengikuti tradisi dan menginginkan keluarga besar.

Hal tersebut mengakibatkan walaupun China sudah mengizinkan pasangan untuk memiliki dua anak, namun kebijakan itu dinilai gagal untuk meningkatkan kelahiran. Akhirnya, China mulai meperkenalkan kebijakan lainnya pada Mei 2021 yaitu pasangan diizinkan untuk memiliki hingga tiga anak. Langkah terakhir disetujui oleh Presiden Xi Jinping.

Amnesty International mengatakan kebijakan itu sama saja dengan kebijakan satu anak. Masih merupakan pelanggaran hak seksual dan reproduksi. Masyarakat China juga banyak bertanya bagaimana kebijakan tiga anak bisa berarti lebih banyak kelahiran ketika kebijakan dua anak saja gagal.

"Pemerintah tidak punya urusan mengatur berapa banyak anak yang dimiliki orang. Daripada 'mengoptimalkan' kebijakan kelahirannya, China seharusnya menghormati pilihan hidup masyarakat dan mengakhiri kontrol invasif dan hukuman atas keputusan keluarga berencana masyarakat," tukas Kepala Amnesty Internasional di China, Joshua Rosenzweig.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya