Melihat Sejarah dan Filosofi Rendang: Bekal Perantau serta Falsafah tentang Pendidikan
Ilustrasi foto rendang (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Sejarah rendang sejatinya adalah masakan yang dibuat khusus untuk para perantau yang sulit menemukan tempat singgah. Karena tahan lama, rendang menjadi solusi bekal mereka di perjalanan. Rendang bukan hanya makanan nikmat lagi bermanfaat, tapi juga mengandung makna filosofi pendidikan yang cukup dalam.

Seperti dituturkan Metron Masdison dalam bukunya Rendang Nan Enak Itu (2018). Kalau dirunut dari adat Minangkabau, rendang sudah ada pada 1550. Sejak saat itu orang Minang sudah gemar merantau ke Selat Malaka dan Singapura.

Masa perjalanan itu bisa memakan waktu hingga sebulan lebih. Sementara, dulu tak ada tempat singgah di perjalanan. "Oleh karena itu perantau menyiapkan makanan tahan lama. Rendanglah jawabannya," tulis Masdison.

Rendang atau masyarakat Minang menyebutnya randang, asal kata marandang yang artinya memasak santan hingga kering secara perlahan. Butuh waktu lama untuk memasak santan hingga kering. Tujuannya, tak lain adalah membuat makanan bisa tahan lama sampai berbulan-bulan.

Tak heran bila jenis rendang mencapai dua ratusan lebih. Pasalnya bukan cuma rendang daging, tapi ada juga rendang telur, rendang ayam, rendang jengkol dan masih banyak lagi.

Catatan lain mengenai rendang pernah ditulis orang Belanda bernama Kolonel Stuers pada 1827. Dalam catatannya, Stuers tak menyebut rendang secara spesifik. Namun ia menyebut makanan yang dihitamkan dan dihanguskan. Diduga ini cocok dengan ciri-ciri rendang.

Kalau dilihat dari bentuknya, kemungkinan rendang adalah perubahan dari kari, makanan khas India. Ada benarnya juga. Pedagang dari Gujarat, India sudah ada sejak abad ke-14. Mereka datang membawa rempah-rempah khas mereka. Oleh sebab itu, rendang dianggap merupakan proses lanjutan dari kari. Bedanya, rendang lebih kering.

Filosofi pendidikan

Rendang merupakan makanan sarat makna. Siapa sangka ternyata rendang mengandung filosofi pendidikan cukup dalam.

Dwi Desi Fajarsari dalam jurnalnya yang bertajuk Nilai Pendidikan dalam Kuliner Rendang (2017) mengaji filosofi rendang dengan menggunakan pendekatan studi bahasa dan budaya. Sebagai sarana komunikasi, bahasa berlandaskan pada budaya.

Sementara, budaya merupakan hasil cipta karsa dan rasa manusia, baik konkret maupun abstrak. Sedangkan makanan tergolong dalam budaya yang konkret.

Makanan atau kuliner merupakan hasil olahan yang terkait dengan kekhasan di suatu daerah. Sama seperti bahasa, kuliner merupakan salah satu bentuk budaya.

Secara filosofi adat dan budaya Minangkabau, rendang memiliki posisi terhormat. Rendang terdiri dari tiga bahan pokok sarat makna, yakni daging, cabai, dan kelapa. 

Kelapa inilah yang disimbolkan memiliki nilai pendidikan moral. Kelapa diartikan sebagai cerdik pandai dinamisator masyarakat.

Menurut Dwi, berdasarkan filosofinya, seseorang haruslah menuntut ilmu agar terpelajar dan mampu bertanggung jawab terhadap perilakunya. Selain itu, seseorang juga dituntut untuk menjadi penggerak ke arah kemajuan di masyarakat lingkungannya.

Semangat itu bisa dilihat dari warung makan padang yang menyediakan rendang tak hanya di jumpai di Padang melainkan hampir ada di seluruh nusantara bahkan sampai ke Eropa dan Amerika. "Ini menunjukkan adanya perantauan yang dilakukan penduduk minang terutama laki-laki," tulis Dwi.

Hal tersebut diartikan bahwa bagi mereka alam ini merupakan medan belajar yang luas. Orang-orang harus mencapai peningkatan sosial dan  menjadi orang yang berguna minimal untuk lingkungan di sekitarnya.