Bagikan:

JAKARTA - Nasib baik selalu mengiringi hidup Margono Djojohadikusumo di era penjajahan Belanda. Margono mampu menempati posisi cukup sebagai pegawai pemerintah kolonial. Ia mampu menjabat sebagai inspektur di Bank Perkreditan Rakyat.

Bekal itu membuat Margono mengetahui seluk-beluk dunia perbankan. Nasionalisme Margono pun kian menjadi-jadi kala Indonesia merdeka. Margono ngotot Indonesia harus punya bank sentral. Margono mendirikan bank. Bank Nasional Indonesia (BNI), namanya.

Margono Djojohadikusumo termasuk dalam golongan kaum bumiputra yang beruntung. Keluarganya yang berasal dari kalangan priayi jadi muara. Pria kelahiran Banyumas, 16 Mei 1894 itu mampu mengenyam pendidikan di zaman sekolah bagi kaum bumiputra dianggap barang mewah.

Kakek dari Prabowo Subianto pun belajar di sekolah elite Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas pada 1900-1907. Ia menikmati masa-masa sekolahnya. Saban hari ia gunakan waktunya untuk belajar. Kondisi itu membuat intelektualitasnya terbangun.

Pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), Margono Djojohadikusumo. (Wikimedia Commons)

Margono yang tamat ELS pun langsung diarahkan keluarganya ke Sekolah Pendidikan Pegawai Negeri (OSVIA). Pemilihan sekolah itu dilakukan supaya kelak Margono yang keturunan priayi tak pusing-pusing urusan pekerjaan.

Sekalinya tamat, Margono akan mampu bekerja sebagai pegawai negeri di Hindia Belanda. Jabatan besar pula. Ia mengisi posisi yang membuat banyak kaum bumiputra iri. Ia jadi inspektur di De Algemene Volkscrediet Bank (AVB): Bank Perkreditan Rakyat.

Ia bekerja mengurus pemberian kredit kepada rakyat. Pekerjaan itu dilakukannya dengan penuh kecintaan. Penjajah kepincut. Kementerian Jajahan di Belanda bahkan sampai mengundangnya untuk mengikuti Kongres Koperasi Internasional di Glasgow, Skotlandia.

Namanya pun kesohor di antara orang Belanda. Ratu Wilhelmina saja sampai memberikannya penghargaan. Sebagai bentuk penghargaan, karena Margono mampu membantu Belanda meningkatkan hajat hidup kaum bumiputra. Namun, segala macam penghargaan itu tak membuat Margono terlena.

Margono Djojohadikusumo bersama istri dan keempat cucu dari anaknya Soemitro Djojohadikusumo, berdiri dari kiri: Marjani Ekowati, Biantiningsih Miderawati, Prabowo Subianto, dan Hashim Djojohadikusumo duduk di antara kakek neneknya.

Ia tetap menjaga nasiolismenya. Ia pun peka terhadap penderitaan rakyat karena penjajahan.

“Margono menempati posisi cukup tinggi dalam jenjang Pemerintah Hindia Belanda. Karena jasa-jasanya, Margono dianugerahi bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau tahun 1938 oleh Ratu Wilhelmina. Walaupun amtenar Hindia Belanda, Margono mempunyai pergaulan erat dengan tokoh-tokoh nasionalis, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Soetomo, Ki Hajar Dewantara, dan Haji Agus Salim,” terang Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 6 (2012).

Bangun BNI

Eksistensi Margono di masa penjajahan Jepang tak kalah banyak. Ia memang sempat bekerja di Bank Perkreditan Rakyat. Namun, Margono tak kerasan. Ia memilih bekerja di Mangkunegara di Solo sebagai Kepala Badan Urusan Ekonomi.

Karier itu membuatnya mewakili Mangkunegara jadi anggota perwakilan rakyat ala Jepang, Chuo Sangi-In – kelak jadi BPUPKI. Indonesia pun merdeka pada 17 Agustus 1945. Margono lalu menyambutnya dengan suka cita dan tak mau terlarut dalam euforia kebahagiaan.

Ia masih melihat Indonesia masih banyak kekurangan. Pun Indonesia belum memiliki bank sentral yang mana untuk menunjang lalu lintas perdagangan. Margono pun memiliki ide membangun bank nasional. Sebab, waktu itu belum ada yang membangun bank nasional. Bank lain memang ada tapi masih dikuasai oleh asing macam De Javasche Bank.

Ide itu beberapa kali dilontarkan ke pejabat pemerintah. Namun, tak mendapatkan respon yang baik. Beruntung Margono mendatangi Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta. Hatta yang paham seluk beluk urusan ekonomi memberikan restu untuk Margono membangun bank nasional.

Peresmian Bank Negara Indonesia (BNI) dilakukan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1946 di gedung De Javasche Bank, Yogyakarta.(ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/Koz/1946)

Surat kuasa pun ditanda-tangani oleh Soekarno-Hatta pada September 1945. Masalah baru muncul. Pendanaan untuk membangun bank memerlukan dana besar. Margono pun tak ingin berharap ke negara karena kebutuhan Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang besar.

Ia mencoba mengubungi ragam pengusaha. Hasilnya nihil. Kocek pribadi pun coba dikeluarkan Margono sebanyak Rp100 ribu, uang Jepang. Yayasan Pusat Bank Indonesia dibangun pada 5 Oktober 1945. Bak gayung bersambut Margono lalu mendapatkan bantuan dari dokter pribadi Soekarno-Hatta, R. Soeharto.

R. Soeharto yang notabene Bendahara dan Wakil Ketua Fonds Kemerdekaan Indonesia mengungkap Margono dapat menggunakan dana yang tersisa. Fonds Kemerdekaan sendiri adalah uang hasil saweran rakyat Indonesia untuk Indonesia merdeka. Uang itu membiayai banyak hal. Pertemuan tokoh bangsa hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Atas restu Bung Karno dan Hatta, R. Soeharto lalu memberikan Margono bantuan sebesar Rp340 ribu, uang Jepang dari kocek Fonds Kemerdekaan. Uang itu membuat Margono mantap hadirkan Pusat Bank Indonesia. Margono menjalankan segalanya dengan suka cita, sendiri.

Rakyat Indonesia sedang sibuk menukarkan mata uang Jepang dengan Uang Republik di Kantor Pos Pasar Baru dan di BNI pada 29 Oktober 1946. (ANRI)

Ia mencarikan kantor. Ia pula mencarikan pegawai. Ia tak ingin uang rakyat Indonesia terbuang percuma. Nama Pusat Bank Indonesia lalu berubah jadi BNI pada 5 Juli 1946. Nama itu baru disahkan secara paripuna pada 17 Agustus 1946.

BNI pun berperan besar sebagai bank setral. BNI bertugas membuat dan mengedarkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Peran BNI pun baru direduksi dan tak jadi bank sentral lagi pada 1968, kemudian Bank Indonesia (dulu: Javasche Bank) didaulat sebagai bank sentral.

Kehadiran BNI pun jadi bukti Margono menguatkan sistem perbankan di Indonesia. Atas sumbangsih Margono, pemerintah Indonesia mengabadikan namanya jadi nama jalan RM Margono Djojohadikusumo di Karet, Jakarta Pusat.

Selain diabadikan sebagai jalan di Jakarta Pusat, nama Margono Djojohadikusumo juga menjadi nama gedung di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang digunakan sebagai kantor Departemen Arkeologi di FIB UGM. (Arkeologi UGM)

Pengeluaran itu sebagian besar untuk membekali orang-orang atau rombongan utusan daerah yang hendak kembali ke daerahnya, untuk menjalankan berbagai tugas dan sebagainya. Fonds Kemerdekaan Indonesia pun menyediakan modal pertama bagi Yayasan Pusat Bank Indonesia, yang di kemudian hari berkembang menjadi BNI. Modal pertama yang saya serahkan itu sebesar Rp340 ribu, uang Jepang tentunya.”

“Adapun pembentukan Pusat Bank Indonesia tersebut berdasarkan maklumat Pemerintah tanggal 9 Oktober 1945, dengan tujuan memusatkan pimpinan dan mempersatukan tujuan (koordinasi) di lapangan perekonomian dan peredaran modal, serta memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menukarkan uang asing dengan uang yang berlaku di Indonesia,” ungkap R. Soeharto dalam buku Saksi Sejarah (1984).