Bagikan:

JAKARTA - Pada 9 Januari 2015, orang-orang di Chitima, Mozambik, menghadiri sebuah upacara pemakaman. Mereka berkumpul dan meminum bir yang disediakan. Namun setelah minum bir tersebut, terjadi keracunan massal. Keracunan massal tersebut mengakibatkan 72 orang tewas dan lebih dari 230 orang harus mendapatkan perawatan.

"Saat kami bersiap untuk menentukan penyebab kematian seseorang, kami mulai menerima banyak orang yang menderita diare dan nyeri otot lainnya. Setelah itu, kami mulai menerima jasad dari beberapa lingkungan," kata Paula Bernardo, direktur kesehatan distrik, Women and Social Action, kepada publik.

Mengutip Washington Post, Sabtu 9 Januari, pihak berwenang percaya bahwa bir itu diberi racun selama para pelayat menuju pemakaman yang memakan waktu sepanjang hari. Tetapi hanya ada sedikit petunjuk tentang penyebab atau motivasinya. Mereka yang minum minuman itu di pagi hari tidak memiliki tanda-tanda penyakit. Tetapi mereka yang minum di sore hari merasakan sakit keesokan harinya. Wanita yang membuat bir itu juga menjadi korban.

Para pelayat yang hadir meminum bir yang dikenal dengan nama pombe, bir tradisional ala Mozambik. Minuman tersebut dibuat dari tepung millet atau jagung dan diseduh selama sekitar dua hari. Minuman itu sering disajikan dalam berbagai upacara dan dijual di daerah pedesaan negara itu.

Setelah peristiwa itu, Pemerintah Mozambik mengumumkan tiga hari berkabung nasional. Pemimpin partai oposisi Renamo, Afonso Dhlakama, bahkan menunda kampanye politik untuk melakukan perjalanan ke wilayah itu agar bisa bertemu dengan keluarga para korban, menurut surat kabar lokal, O Pais. Pihak berwenang mengumpulkan pakaian, makanan, dan peti mati untuk keluarga yang berduka.

Tragedi itu juga menarik perhatian internasional atas apa yang menurut pejabat kesehatan sebagai sumber racun yang tidak biasa: empedu buaya. Carle Mosse, direktur kesehatan provinsi, mengatakan bahwa beberapa orang menduga minuman itu diracuni dengan empedu buaya. Begitu pula dengan petugas kesehatan, Alex Albertini.

Penelitian tentang kandungan empedu buaya tidak mudah ditemukan dalam literatur ilmiah. Pemeriksaan empedu buaya memiliki racun tampaknya adalah makalah berusia 30 tahun lebih yang ditulis oleh N.Z. Nyazema.

Penelitian itu mencatat bahwa empedu dari kantung empedu buaya (juga dikenal sebagai "nduru") telah lama dikabarkan menjadi racun yang kuat. Sering dikaitkan dengan keracunan pada acara-acara khusus, seperti pemakaman.

Kasus keracunan ini juga menarik perhatian WHO. Pihak WHO menambahkan bahwa "penyebab paling umum dari keracunan massal yang terkait dengan minuman buatan rumah adalah metanol, yang ditambahkan untuk membuat minuman tersebut lebih kuat."

"Dengan metanol, penting untuk melakukan pengujian sampel darah yang sangat tepat waktu, jika tidak, jejak mungkin sulit dideteksi," kata juru bicara WHO Christian Lindmeier.

Namun pada 2017, terdapat penelitian yang dipublikasikan oleh IDSA yang menyatakan bahwa kadar racun bongkrekic acid (BA) terdeteksi di pombe yang disajikan di upacara pemakaman tersebut. Burkholderia gladioli pathovar cocovenenans, bakteri yang menghasilkan BA, terdeteksi dalam tepung yang digunakan untuk membuat pombe.

Penelitian itu mengatakan bahwa mengingat tidak ada wabah sebelumnya yang dikenali di luar Asia, penyelidikan menunjukkan bahwa BA mungkin merupakan penyebab keracunan massal tersebut. Isu bahwa minuman tersebut dicampur racun empedu buaya pun terbantahkan.