JAKARTA - Gamal Abdul Nasser tercatat sebagai presiden pertama negara Mesir. Ia terpilih sebagai presiden dengan memperoleh suara sebesar 99,8 persen setelah meruntuhkan sistem monarki dan menggulingkan raja Raja Farouk. Bagaimana perjuangannya?
Pria kelahiran 15 Januari di Bakos, Iskandariyah ini aktif dalam gerakan Mesir menentang penjajahan dan kekuasaan asing ketika di Akademi Militer. Ia pernah terlibat dalam perang Kemerdekaan Israel pada 1948 saat ia berpangkat Mayor. Ketika perdamaian tercapai, Nasser kembali ke Mesir dan memimpin Angkatan Bersenjata Mesir untuk menggulingkan kekuasaan Raja Farouk.
Saat itu ia terlibat dalam pembentukan kelompok klandestin bernama Gerakan Perwira Bebas (Free Officers) pada 1949. Kelompok ini berisi perwira-perwira angkatan darat yang ingin menghapuskan sistem monarki yang bersekutu dengan Kerajaan Inggris.
Gerakan ini berawal dari keresahan yang Nasser rasakan sejak Perang Palestina. Ia merasa kurangnya koordinasi antara pasukan Arab. Selain itu, ia juga merasa tak disokong penuh dari segi persenjataan.
Ditambah lagi saat perang berlangsung, para ahli persenjataan malah diminta membangun chalet --rumah mewah-- untuk Raja Farouk di Gaza. Komando tertinggi berkepentingan untuk menduduki wilayah seluas mungkin tanpa memandang nilai strategisnya dan akan memengaruhi peluang untuk memenangkan pertempuran.
"Pukulan terakhir adalah ketika saya diperintahkan untuk memimpin sebuah batalion dari infanteri keenam yang menuju ke Irak Swaidan yang sedang diserang oleh Israel. Yang mengejutkan, saya menemukan rincian gerakan kami diterbitkan di surat kabar Kairo bahkan sebelum kami melakukannya," kata Nasser, dikutip dari Nasser Bibalex.
Memulai kudeta
Sekembalinya ke Mesir, Nasser menyadari bahwa pertempuran sebenarnya justru ada di Tanah Air-nya sendiri. Selama berperang di Palestina, Nasser mengetahui para politisi sibuk mengumpulkan keuntungan dari senjata yang mereka beli dengan murah kemudian dijual kepada tentara.
Saat itulah Nasser diam-diam mulai menyusun gerakan kudeta. Para Perwira Bebas mulai mengedarkan beberapa brosur yang menyerukan reformasi tentara.
Mereka memasok senjata dan melakukan pelatihan yang sesuai. Perwira Bebas juga meminta para pemimpin untuk berhenti menyia-nyiakan kekayaan bangsa dan meningkatkan standar hidup orang miskin. Pada masa itu, skandal senjata dikorupsi mulai menyebar, bersama dengan skandal ekonomi lainnya yang melibatkan parlemen.
Pada 26 Januari 1952, unjuk rasa mulai berlangsung di Kairo sebagai tanggapan atas pembantaian petugas polisi oleh pasukan Inggris yang terjadi di Ismailia di mana 46 petugas tewas dan 72 luka-luka. Kebakaran terjadi tetapi pihak berwenang tidak melakukan tindakan apa pun kecuali pada malam hari setelah kebakaran menghancurkan 400 bangunan, menyebabkan 12 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Pada saat itu, kisruh yang dikenal sebagai 'krisis perwira militer' terjadi antara kelompok Perwira Bebas dan Raja Farouk karena ia mengusung Jenderal Serri Amer untuk memimpin komite eksekutif. Perwira Bebas memutuskan untuk mengajukan nominasi mereka yang dipimpin oleh Jenderal Mohammed Naguib yang dipilih sebagai presiden oleh mayoritas meskipun pada kenyataannya pemilihan dibatalkan oleh raja.
Namun, setelah menyadari bahwa didukung oleh tentara, Nasser memutuskan untuk memajukan masa revolusi yang seharusnya terjadi pada 1955. Oleh karena itu, tentara mulai bergerak pada malam 23 Juli 1952 menduduki gedung Komando Tinggi di Kubri Alkuba. Periwra Bebas menangkap para pemimpin yang tengah berdiskusi bagaimana menangani Perwira Bebas.
Tiga hari setelah Revolusi, Raja Farouk turun takhta. Keesokan harinya, Nasser terpilih kembali sebagai Presiden Gerakan Perwira Bebas. Pada 18 Juni 1953, monarki konstitusional bubar dan Mesir diumumkan sebagai Republik dengan Mohammed Naguib sebagai Presiden.
Saat itu Nasser masih menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri. Tak lama kemudian ia meninggalkan posisinya.
Pada 1954, Nasser bergerak dari balik layar. Ia menggulingkan Naguib dari kekuasaan dan akhirnya mendeklarasikan diri sebagai Perdana Menteri Mesir.
Dalam dua tahun memimpin, Nasser berhasil membangun pamor sebagai pemimpin yang populer. Ia mengumumkan konstitusi baru yang membuat Mesir menjadi negara Arab yang lebih demokratis. Pada 23 Juni 1956, Pemilu Mesir digelar dan menyepakati lahirnya konstitusi baru dan kepresidenan Nasser.
Kepemimpinan Nasser
Menurut catatan LSM pro-demokrasi EISA, kepemimpinan Nasser dalam 18 tahun meninggalkan warisan penting dalam lanskap politik, ekonomi dan sosial Mesir. Nasser membangun Mesir dengan prinsip sekulerisme, meski mendapat pertentangan dari kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin.
Nasser juga turut menasionalisasi aset industri, reformasi tata guna lahan dan membentuk negara sebagai penyedia utama barang dan jasa bagi warga negara. Reformasi tanah dilakukan dari 1952 dan seterusnya, kekayaan didistribusikan kembali oleh negara yang diperbesar, lahan pertanian yang tersedia diperluas.
Selain itu, Bendungan Aswan dibangun dan periode pertumbuhan ekonomi yang cepat dinikmati bersama. Nasser juga melakukan perluasan infrastruktur pendidikan, menyebabkan munculnya kelas menengah yang substansial.
Masa senja Nasser diwarnai krisis akibat kekalahan negara-negara Arab termasuk Mesir oleh Israel dalam Perang Enam Hari. Selain itu, pada awal 1970 Nasser mengambil keputusan berisiko tinggi yang banyak ditentang, yaitu berdamai dengan Amerika Serikat (AS) dan Israel melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sampai ia meninggal pada hari ini 28 September setengah abad lalu atau pada 1970, Nasser meninggal akibat serangan jantung. Ia wafat di usia 52 tahun.