JAKARTA - Orang tua seringkali memilih pengobatan alternatif terkait dengan masalah pada sendi dan tulang. Hal ini juga diberlakukan pada buah hati mereka bila diduga terkilir, salah urat bahkan patah tulang.
Padahal kondisi ini tidak selalu benar, karena bisa saja sebetulnya sendi dan tulang yang dirasa nyeri dan bengkak itu terjadi akibat kanker tulang osteosarkoma yang justru akan semakin parah bila diurut.
Nyeri dan bengkak terutama di sekitar lutut adalah ciri-ciri awal dari kanker tulang osteosarkoma yang harus segera ditangani secara medis. Dokter spesialis bedah onkologi Prof. Dr. dr. Achmad Fauzi Kamal SpOT (K), mengatakan kondisi anak bisa jadi lebih parah bila bagian yang bengkak dan nyeri itu malah diurut.
Dalam sebuah webinar Yayasan Onkologi Anak Indonesia, Sabtu, Fauzi menjelaskan bahwa bila bagian yang bengkak tersebut dipijat atau diurut, justru akan merangsang sel kanker tumbuh semakin cepat dan tumor cepat menyebar.
Staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa osteosarkoma adalah kanker tulang primer yang banyak ditemukan pada anak-anak dan remaja. Osteosarkoma paling sering ditemukan di tulang sekitar lutut, baik di ujung tulang paha atau pangkal tulang kering.
Bengkak dan nyeri adalah gejala awal yang harus diwaspadai, apalagi bila rasa nyeri bertambah parah walau sudah diobati dengan pereda nyeri biasa.
"Cirinya adalah nyeri progresif, setelah minum obat akan mereda, lalu kemudian sakitnya semakin parah, selanjutnya nyeri itu tidak merespons obat antinyeri biasa," jelas Fauzi.
Bengkak yang dialami bervariasi, bisa sangat besar hingga kulit sampai menipis. Gejala lainnya adalah penurunan berat badan yang drastis dan pasien tidak bisa berjalan. Kadang juga disertai patah tulang. Nyerinya juga bisa sangat mengganggu ketika malam hari sehingga anak kesulitan tidur.
“Jika gejala itu dialami anak di usia pertumbuhan 10-20 tahun, orang tua harus curiga dan membawa ke dokter karena hampir pasti itu keganasan pada tulang. Mengapa hampir pasti? Karena kalau tumor jinak biasanya tidak sakit," kata dia.
Baca juga:
Dibandingkan jenis kanker lain pada anak, kejadian osteosarkoma relatif rendah. Namun kanker ini sangat progresif dan angka kematiannya cukup tinggi.
Menurut WHO, prevalensinya sekitar 4-5 orang per 1 juta penduduk. Puncak insiden osteosarkoma adalah di usia 10-20 tahun yang mencapai 70 persen. Di RSUPN Dr Ciptomangunkusumo, ada 219 kasus osteosarkoma berdasarkan data 1995-2007. Ada sekitar 16 kasus per tahun dan sejak 2014 hingga sekarang telah ditemukan 19 kasus per tahun.
Mengenali gejala sejak dini dan sigap membawa anak ke dokter bakal menentukan hasil akhir dari perjalanan kanker osteosarkoma, sebab kanker ini bisa bertambah parah dalam hitungan minggu hingga beberapa bulan. Osteosarkoma bisa menyebar ke paru-paru, tulang lain serta sumsum tulang.
"Jangan menunda-nunda. Kanker ini sangat cepat membesar, sehingga orang tua harus segera membawa ke dokter begitu timbul gejala awal. Akan lebih baik jika langsung dibawa ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap yang bisa menangani kanker tulang."
Pada umumnya, dokter bisa menyimpulkan diagnosis osteosrakoma dari gambaran fisik pasien. Tapi diagnosis tetap harus dikuatkan dengan pemeriksaan X-Ray, dan jika perlu CT Scan dan biopsi. Terkadang, dari hasil CT Scan, sekitar 45 persen osteosrakoma ditemukan di tulang lain.
Terapi osteosarkoma: kemoterapi, pembedahan atau amputasi
Pengobatan utama osteosarkoma adalah kemoterapi dan pembedahan, yakni pengangkatan tumor atau amputasi. Menurut Prof. Fauzi, osteosarkoma adalah jenis kanker yang resisten dengan kemoterapi dan radiologi sehingga dosis kemoterapi umumnya lebih tinggi.
Dia mengajak orangtua untuk optimistis dan berbesar hati bila anaknya harus menjalani kemoterapi, sebab hampir semua pasien bisa melewati proses tersebut.
"Dukungan orangtua penting saat anak menjalani kemoterapi," ujar Fauzi.
Dokter spesialis anak konsultan hematologi anak dr. Bambang Sudarmanto, SpA (K) dari RSUP dr. Kariadi Semarang mengatakan kemoterapi adalah terapi wajib untuk pengobatan osteosarkoma.
Kemoterapi bisa dilakukan sebelum bedah, atau operasi dulu baru kemoterapi. Tetapi keduanya harus dilakukan,” jelas Bambang.
Dia menjelaskan manfaat dari kemoterapi untuk pasien, yakni osteosarkoma memiliki respon yang bagus terhadap kemoterapi, ada harapan tumor mengecil sehingga pembedahan lebih mudah, juga efektif membunuh sel kanker yang kemungkinan menyebar di tempat lain.
Efek samping yang bisa dirasakan pasien anak adalah rasa mual dan ingin muntah, kemudian nafsu makan berkurang yang secara otomatis membuat tumbuh kembang terganggu karena anak enggan makan. Efek samping lainnya adalah diare, konstipasi, rambut rontok serta mukositis.
Dia mengungkapkan, efek samping kemoterapi terhadap anak cenderung lebih ringan dibandingkan pasien dewasa sehingga orangtua tidak perlu terlalu khawatir. Seringkali anak bahkan pulih lebih cepat dari efek samping, maka dokter dapat memberi dosis kemoterapi yang lebih tingi untuk mencoba membunuh tumor.
Namun ada juga satu dampak kemoterapi yang patut diwaspadai, yaitu depresi pada sumsum tulang yang mengakibatkan anak mudah terinfeksi akibat sel darah putih berkurang, serta mudah perdarahan karena trombosit berkurang. Anak juga mudah merasa lelah karena sel darah merah berkurang.
Dia menjelaskan tahapan pengobatan kemoterapi pada osteosarkoma. Pertama, kemoterapi neoajuvan yang dilakukan 10 pekan sebelum pembedahan. Tujuannya adalah mengecilkan massa tumor. Selanjutnya operasi atau amputasi. Setelah operasi, pasien mendapat kemotrapi ajuvan.
Kemoterapi diberikan dalam siklus. Setiap periode pengobatan diikuti periode istirahat agar tubuh punya waktu untuk pulih. Setiap siklus biasanya berlangsung selama beberapa pekan.
Orangtua dari pasien osteosarkoma disarankan untuk mendapatkan informasi yang benar dan tepat mengenai obat-obat yang diberikan kepada anak, termasuk adanya efek samping.
Meski jarang terjadi, ada obat kemo yang menimbulkan reaksi hipersensitif. Gejala-gejalanya meliputi sesak napas, nyeri dada, gatal, kemerahan pada wajah, panas, hipotensi dan gangguan kesadaran.
Maka, orangtua perlu mendiskusikan bagaimana mencegah dan mengatasi bila terjadi efek samping. Jangan lupa untuk melakukan monitoring atau pemeriksaan laboratorium sesuai waktu yang ditentukan untuk mengetahui efek samping kemoterapi.
Prof. Fauzi menambahkan, tidak semua pasien osteosarkoma akan diamputasi. Amputasi dilakukan jika sel kanker sudah melibatkan pembuluh darah utama, ada patah tulang, dan infeksi (luka yang lebar).
Jika amputasi masih bisa dihindari, prosedur pembedahan dilakukan dengan mengangkat atau memotong tulang yang terdampak tumor. Tulang ini kemudian “diterapi” khusus dan dibersihkan dari sel-sel kanker. Biasanya dengan radiasi.
“Selama menunggu tulang disembuhkan, pasien diberikan prostesis tulang sampai tulang asli dinyatakan bersih dan bisa dipasang lagi. Sayangnya harga prostesis ini cukup mahal dan saat ini ketersediaannya tidak banyak,” jelas Prof. Fauzi.
Pasien yang sudah sembuh dari kanker ini harus tetap kontrol secara rutin sesuai yang ditentukan, sebab masih tetap ada potensi kambuh dan sel kankernya menyebar.
Tidak ada cara yang diketahui untuk mencegah osteosarkoma, meskipun faktor-faktor tertentu seperti terapi radiasi di masa lalu atau kondisi genetik bisa saja menjadi faktor yang meningkatkan risiko. Namun, memiliki faktor risiko tidak selalu berarti akan mendapat osteosarkoma. Oleh karena itu, tanda atau gejala apa pun harus diperiksa sesegera mungkin.