Bagikan:

JAKARTA - Curah hujan di Indonesia belakangan ini sedang tinggi. Penularan penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD) pun turut meningkat.

Maka dari itu, Guru Besar Ilmu Virologi dan Imunologi Virus Demam Berdarah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. Beti Ernawati Dewi, Ph.D., menekankan pentingnya deteksi dini terhadap penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (DENV) ini masih menjadi ancaman kesehatan serius di Indonesia dan dunia.

“Deteksi dini yang cepat sangat penting dalam menangani kasus DBD. Keterlambatan diagnosis sering kali menjadi penyebab tingginya angka kematian,” ungkap Prof. Beti saat berbicara di Kampus UI, Depok, seperti dikutip Antara.

Sejak pertama kali dilaporkan pada 1968 di Jakarta dan Surabaya, kasus DBD di Indonesia terus meningkat hingga meliputi seluruh provinsi. Data menunjukkan angka kematian akibat DBD di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 894 kasus, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi akibat penyakit ini.

Kematian sering kali terjadi karena diagnosis yang terlambat. Pada tahap awal infeksi, gejala DBD cenderung tidak khas, sehingga menyulitkan tenaga medis dalam menentukan penanganan yang tepat. Oleh karena itu, deteksi dini dapat menjadi kunci untuk mengurangi angka kematian.

Prof. Beti menjelaskan, DENV dapat dideteksi sejak awal infeksi melalui pemeriksaan antigen virus, yaitu protein non-struktural-1 (NS-1). Untuk mendukung penanganan dini, tim FKUI bekerja sama dengan PT Konimex mengembangkan KODC Dengue, sebuah alat deteksi cepat berbasis NS-1 yang mampu memberikan hasil hanya dalam waktu 15 menit.

“Kit ini dirancang menggunakan strain virus dengue yang berasal dari Indonesia, sehingga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dalam mendeteksi infeksi lokal,” jelas Prof. Beti.

Selain mengurangi ketergantungan pada produk impor, produksi alat ini di dalam negeri juga menjadi langkah menuju kemandirian Indonesia dalam bidang alat kesehatan.

Deteksi dini tidak hanya memberikan manfaat individual, tetapi juga berkontribusi pada upaya pengendalian penyebaran penyakit, termasuk menerapkan pola hidup bersih dalam keseharian.

Di samping itu, pelaporan cepat kasus DBD memungkinkan pemerintah untuk segera melakukan tindakan preventif, seperti fogging di area tempat tinggal pasien, untuk memutus mata rantai penyebaran virus.

Sebagai bagian dari upaya jangka panjang, FKUI juga terus memperkuat pendidikan tentang DBD kepada mahasiswa kedokteran melalui modul khusus. Mahasiswa dipersiapkan untuk memahami gejala klinis, patogenesis, serta tata laksana farmakologis dan non-farmakologis DBD sebelum memasuki dunia praktik.

“Melalui pendidikan dan penelitian yang berfokus pada pendekatan virologi dan imunologi, kami berharap dapat memberikan solusi komprehensif untuk mengatasi tantangan DBD,” tambah Prof. Beti.

Dengan inovasi alat deteksi dini dan upaya edukasi yang berkesinambungan, diharapkan Indonesia dapat menurunkan angka kematian akibat DBD dan mencapai target zero kematian pada tahun 2030.