Bagikan:

YOGYAKARTA - Panggilan "Gus" telah menjadi sebutan yang begitu melekat di masyarakat, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Pertanyaannya, sejak kapan dan bagaimana asal muasal panggilan Gus?

Namun, tahukah Anda dari mana sebenarnya asal-usul panggilan yang begitu populer ini? Mari kita telusuri sejarah di balik panggilan "Gus" yang sarat makna dan nilai-nilai luhur.

Asal Muasal Panggilan Gus

Millatuz Zakiyah dalam penelitiannya yang berjudul “Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis” menjelaskan jika sebutan "Gus" yang kerap disematkan pada putra atau menantu laki-laki seorang kiai mengandung makna penghormatan yang mendalam.

Istilah ini menurut berakar dari kata "bagus" yang merujuk pada kedudukan tinggi. Persamaan dengan gelar kebangsawanan "raden bagus" di Jawa semakin menguatkan pandangan ini.

Panggilan "Gus" juga tidak sekadar sapaan, melainkan sebuah gelar yang menandakan harapan agar sang empunya dapat meneruskan warisan keilmuan dan kepemimpinan ayahnya.

Oleh karena itu, sejak dini, putra seorang kiai telah diperlakukan secara istimewa, termasuk diberikan gelar kehormatan ini.

Baca juga artikel yang membahas Sejarah Pondok Pesantren Al-Zaytun, Ponpes di Jabar yang Disebut Ajarkan Aliran Sesat

Beda Panggilan Gus dan Mas

Selain "Gus", putra kiai juga kerap disapa "Mas". Kedua istilah ini memiliki nuansa penghormatan, namun dengan tingkat kedekatan yang berbeda.

"Mas", yang berasal dari "kangmas", umumnya digunakan untuk memanggil anak laki-laki yang lebih tua atau yang dihormati. Di lingkungan pesantren, "Mas" mengandung rasa hormat yang lebih dalam.

Meskipun sama-sama berasal dari "kangmas", penggunaan "kang" dan "mas" memiliki konteks yang berbeda.

"Kang" lebih umum digunakan untuk sesama santri sebagai bentuk penghormatan tanpa kesan terlalu akrab, terutama terhadap lawan jenis. Sebaliknya, "Mas" sering dialamatkan kepada putra kiai, yang ditujukan memberikan kesan lebih dekat dan intim, namun tetap menjaga hierarki.

Oleh karena itu, panggilan "Mas" lebih sering digunakan untuk putra kiai yang masih muda atau dalam konteks kekerabatan yang lebih dekat, seperti saudara kandung atau suami santri putri.

“Ning” untuk Anak Kiai Perempuan

Jika anak Kiai laki-laki dipanggil Gus, maka anak perempuan akan dipanggil Ning. Poerwadarminta, dalam kamusnya yang terbit tahun 1939, menjelaskan bahwa kata "ning" memiliki arti "kuning".

“Ning” sendiri sering digunakan sebagai panggilan untuk anak perempuan. Penggunaan kata "ning" sebagai panggilan anak perempuan di luar pesantren terutama ditemukan di daerah Jawa Timur, seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Mojokerto.

Walaupun tidak mengacu pada strata sosial ningrat di Jawa, sebutan 'Ning' memiliki hierarki sosial yang sebanding dengan 'Mbak' yang ditujukan sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan yang lebih dewasa.

Akan tetapi, dalam konteks pesantren, penggunaan kedua istilah ini menunjukkan adanya diferensiasi sosial. 'Mbak' digunakan secara inklusif untuk seluruh santri perempuan, sedangkan 'Ning' memiliki konotasi yang lebih spesifik, yaitu sebagai gelar kehormatan bagi putri seorang kiai.

Pengaruh budaya Jawa sendiri sangat kental dalam sistem sapaan di pesantren. Penghormatan terhadap kiai, misalnya, dapat dihubungkan dengan konsep "begawan" dalam budaya Jawa, yakni sosok bijak yang sangat dihormati.

Sementara itu, sikap santri yang patuh pada guru juga dapat diibaratkan dengan hubungan antara "cantrik" dan gurunya. Sinkretisme antara nilai-nilai Islam dan budaya Jawa inilah yang membentuk sistem sosial yang unik di lingkungan pesantren.

Selain asal muasal panggilan gus, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Ingin tahu informasi menarik lainnya? Jangan ketinggalan, pantau terus kabar terupdate dari VOI dan follow semua akun sosial medianya!