JAKARTA - Sutradara Rudi Soedjarwo mulai menyadari banyak hal ketika profesi sutradara yang ia jalankan masuk dalam usia 25 tahun berkarya. Di mana ia mengaku menyadari bahwa banyak kesalahan-kesalahan di masa lalunya sebagai seorang sutradara yang juga manusia biasa kepada kru-kru film yang menurutnya sudah meninggalkan banyak luka.
“Sebenarnya 25 tahun berkarya itu saya nggak berusaha pamer karena sebuah pencapaian atau apa nggak sama sekali sebenarnya bahkan sebenarnya itu lebih 20 (tahun) sekian ya cuman kan nggak enak kalau 27, 28, 29, tuh kayaknya kurang enak jadi judul sebuah acara gitu,” kata Rudi Soedjarwo dalam wawancara eksklusif dengan VOI, Kamis, 30 Mei.
“Tapi 25 tahun ini saya baru menyadari sesuatu menyadari bahwa ternyata banyak sekali kesalahan-kesalahan saya sebagai manusia ketika dalam proses puluhan tahun itu sebagai saudara, sebagai manusia, mungkin sebagai sebagai bapak, dan mungkin bagaimana saya ke kru ke cast gitu ya yang mungkin ada kata-kata yang emosional tidak disengaja yang membuat mereka mungkin mempunyai luka,” tambahnya.
Oleh karena itu, Rudi mengatakan bahwa ia ingin memanfaatkan menandai 25 tahun berkarya ini dengan momen permintaan maaf dan rasa syukurnya kepada orang-orang yang ia syukuri sudah membantunya dalam menjalankan profesinya ini.
Tak hanya sekedar meminta maaf namun ia juga ingin berterima kasih kepada orang-orang tersebut yang sudah memiliki peran penting dalam karirnya. Bukan tanpa alasan, Rudi menyadari bahwa usianya sudah semakin senja sehingga sudah tidak bisa membuang-buang waktu lagi.
“Nah aku pengennya momen ini aku jadikan saat di mana kita ya aku akan minta maaf kepada mereka dan akan meng-addres-kan bahwa aku juga bersyukur dan berterima kasih kepada mereka yang sudah menjadi bagian dari ini bukan bukan pamer tentang saya tapi kalau nggak sekarang, karena menurut aku kalau enggak saya rayakan eh akhirnya kena hanya sekedar film kita launching tapi aku pengen rayakan karena aku mau menjadi orang lebih baik ke anak, caranya kan hanya meminta maaf dengan apa kekurangan saya selama 20-an tahun ini,” tutur Rudi.
“Dan syukur dan terima kasih ketika memang orang-orang ini menjadi bagian terpenting gitu bahkan memang kalau kita berantem pecah atau apa ya itu bagian tetap gitu dan itu yang sebenarnya aku mau karena saya sudah 53 tahun dan kalau enggak sekarang menurut saya kalau kita ketemu aja tanpa kita niatkan itu pasti tidak akan keluar dari kata-kata itu paling cuma ‘Eh gimana bro?’, tapi nggak akan benar-benar merasa bahwa memang ini terus dari hati saya,” paparnya.
Tak bisa dipungkiri oleh Rudi selama 25 tahun lebih ia berkarya di industri film sebagai seorang sutradara memiliki masa kejayaan yang malah menjadi salah satu penyesalan dalam hidupnya. Hal ini terjadi ketika film Ada Apa Dengan Cinta yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra meraih kesuksesan.
Meski film tersebut sudah mengantarkannya sebagai Pemenang Sutradara Terbaik dalam perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2005, Rudi mengaku bahwa ia malah merasa tidak bisa leluasa berproses dan masih ingin mendapatkan rintangan dalam berkarya.
BACA JUGA:
“Banyak kan aku masalahnya kalau kayak suksesnya comes to early, film pertama saja yang besar Bintang Jatuh kan film indie, filmku habis itu kan Ada Apa dengan Cinta itu sukses too early buat saya sebenarnya, buat sebagian orang ‘Beruntung lu’, iya tapi kan habis itu kan masih mau proses,” imbuhnya.
“Nah ketika too early sedangkan saya masih mau berproses itu hantaman-hantaman kan banyak yang bikin film ini tapi kita sudah merasakan sukses yang segini tiba-tiba di film ada yang nggak ditonton itu kan langsung drop, mending dari awal filmnya biasa tapi makin lama makin naik, kalau menurut aku. Gitu ya terus yang pertama langsung dua setengah juta penonton film keduanya misalnya ada jamnya ada yang nggak ditayangkan, nggak ada yang nonton kan lu jadinya ‘gila’,” jelas Rudi Soedjarwo.
Film Sebagai Perjalanan Spiritual
Rudi Soedjarwo menuturkan kalau ia tidak lagi memiliki target dalam berkarya di usianya yang sudah menginjak 53 tahun. Pasalnya ia merasa ketika ia menargetkan untuk membuat sebuah karya maka ia tidak bisa mendapatkan kenikmatan dari memproduksi sebuah film terus, ia lebih memilih untuk mengalir saja dalam berkarya khususnya dalam industri film.
Bukan hanya itu, kespontanan juga dibutuhkan baginya untuk terus bisa berkarya meski ia mengetahui resiko yang didapatkan akan jauh lebih besar. Namun ia berpesan ketika mendapatkan kegagalan harus tetap berdiri lagi dan terus berkarya.
“Nah ketika lu menargetkan sesuatu itu nggak dengan nikmat, jadi menurut aku mengalir harusnya dan spontan. Spontan artinya gini ketika ada sesuatu yang ayo ayo, spontan, nggak usah mikir kebanyakan karena kalau kita udah mikir lewat tuh. Ada resiko, ya jelas, tapikan hidup itu resiko, gimana masuk gagal, gimana gagal kita back get up. Berdiri lagi, sikat lagi, belajar dari situ, move on. Saya bikin salah tiga kali baru bisa move on. Suka lupa lagi, ‘oh iya ya kemarin gitu lagi, kenapa sekarang gini lagi? Oh ya udah yuk’ tapi sudah terlambat. Dan memang saya tipenya begitu,” tambah Rudi.
“Makanya saya sekarang bikin yang ini, yang keresahan dalam hati itu ketika saya sudah kena stroke tuh 2 tahun, tahun 2019, itu baru kita ‘gila ya’, gue stroke dikasih sembuh terus bisa bikin film lagi itu ketika film pertama Sayap-Sayap Patah, dikasih film lumayan, artinya Tuhan mau taruh gue punya peran nih sebagai filmmaker, ya itu yang harus kita manfaatkan,” ceritanya.
Bukan tanpa alasan, hal ini dilakukan oleh Rudi Soedjarwo karena menganggap bahwa kini film merupakan sebuah perjalanan spiritual ini yang menyadarkan bahwa ia sebagai manusia bekerja sebagai seorang sutradara hanyalah sebuah peran dan bukan sekedar profesi.
“Nggak sih, sebenarnya kalau aku film sekarang sudah perjalanan spiritual. Mungkin yang berumur sudah tahu ya, karena menurut aku, karena dengan aku membuat film dengan kesadaran spiritual bahwa sebagai manusia ini sebagai peran, kalau sutradara itu kan bukan profesi tapi peran, itu kan memang mencari nafkah gimana, itu kan sifat kita sebagai manusia mau mencari makan kan, peran kita sebagai manusia ini apa?,” imbuhnya
“Nah ini menurut aku sudah jelas nih, gue bikin film melibatkan bakat-bakat baru dari 300 juta penduduk Indonesia kemudian gue harus menyampaikan keresahan-keresahan yang ada di sosial media. Kayaknya itu peran gue makanya gue menjadi sutradara yang begitu. Mungkin itu posisi gue di sini. Genre malah macam-macam. Kita mengemas film ini dengan genre horor juga bisa. Misalnya kayak dirundung kan banyak juga kan. Itu hanya kemasan, genre, pakaian tapi kan isinya kita bisa tetap keresahan sosial,” ujarnya.
Terakhir Rudi Soedjarwo menceritakan impian yang hingga kini belum bisa ia wujudkan yaitu memproduksi film peran sebagai tanda penghormatan kepada ayahnya yang merupakan seorang tentara pelajar. Tetapi ia menyadari bahwa bukan sebuah perkara mudah dan murah untuk membuat film perang tersebut.
“Selalu ada, jadi kalau menurut aku ya kita harus bermimpi kalau kita sudah selesai, kalau kita sudah nggak gelisah, kita sudah nggak bermimpi berarti sudah berhenti mimpi kita, kita hanya menjalankan rutinitas saja. Itu yang sebenarnya paling menakutkan untuk saya sebenarnya. Kalau sudah 100 tahun, 90 tahun, nggak apa-apa tapi kalau lu masih gue merasa tua karena anak-anak di sekeliling gue, pemain gue pikir sudah ‘lu berapa umurnya?’, ‘50’, tua juga sialan. Akhirnya kita memang menyasar bahwa mimpi itu selalu ada,” lanjutnya.
Nah mimpi gue tuh yang paling gue pengen itu adalah bikin film perang. Tapi kan mahal dan sulit tapi gue pengen banget karena bokap kan dulu tentara pelajar. Umur 14, 16 sudah harus perang. Menarik itu sebenarnya, arsip nya, apa yang mereka korbankan. Jadi asik pakai celana pendek, nggak pakai seragam, zaman dulu kan, kan gerilya. Pasti keren, kalau ditakdirkan bikin harapan gue sih ke situ,” tandas Rudi Soedjarwo menutup wawancara dengan VOI.