Kenangan Buruk Lebih Mudah Diingat, Benarkah?
Ilustrasi menyusun puzzle (Unsplash/Ryoji Iwata)

Bagikan:

JAKARTA – Sesuatu yang membekas disebut dengan kenangan, baik itu ingatan tentang peristiwa yang membahagiakan maupun menyedihkan. Sebuah penelitian yang menyelami cara kerja otak dalam mengingat menemukan bahwa kenangan buruk lebih mudah diingat dibanding ingatan bahagia.

Bagaimana bisa? Bukankah sepanjang hidup tidak hanya mengalami peristiwa yang buruk saja.

Penelitian mengenai kerja memori otak ditelusuri dan dijadikan referensi untuk menyusun program terapi bagi yang mengalami posttraumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma.

Sebab pengalaman buruk yang tersimpan dalam ingatan perlu negosiasi sebagai proses penerimaan, maka mengetahui cara otak menyimpan memori menjadi landasan kuat untuk terapi.

Hasil penelitian Elizabetth Kensinger dan rekan diterbitkan dalam sebuah jurnal di Association for Psychological Science. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa suatu peristiwa yang tidak menyenangkan diingat secara lebih rinci daripada peristiwa positif.

Dalam citra yang ditunjukkan pada Resonansi Magnetik Fungsional (fMRI), aktivitas seluler meningkat aktivitasnya dalam keterlibatan emosi negatif yang dialami. Pada momen ini korteks arbitofrontal dan amigdala menyimpan memori terkait dengan aspek emosional ketika berada pada situasi buruk.

Para peneliti mengatakan, teknik menyimpan kenangan buruk ini mungkin sebagai taktik evolusioner untuk melindungi diri dari peristiwa yang mengancam jiwa di masa depan.

Bertahannya memori dalam otak berkaitan dengan emosi, seperti halnya keterangan Kensinger mengenai sirkuti otak.

“Peristiwa positif atau negatif, di sebagian besar waktu –jika tidak sepanjang waktu- peristiwa negatif cenderung diingat dengan cara lebih akurat daripada peristiwa positif.”

Detil yang diingat secara akurat menyebabkan reaksi emosional negatif. Misalnya, ketika mengalami peristiwa kemalingan dan maling menodongkan senjata tajam, seseorang akan lebih mengingat jenis senjata yang dipakai, tinggi badan maling dan gerak-gerik yang menimbulkan ketakutan.

Tetapi, ada yang terlewat dari ingatan. Ketika mengingat detil-detil kecil, seseorang mungkin akan lupa hal yang bersifat periferal, misalnya hal-hal di sekitar, jalanan, dan suasana lingkungan.

Nah, ini mengapa ada saksi mata. Sebab fenomena yang merekam detil peristiwa penting untuk didokumentasikan dalam penelusuran dari keterangan saksi mata.

“..ketika sirkuit emosional di otak menyala, tingkat pemrosesan pada jaringan memori tipikal akan bekerja lebih efisien dalam membangun aspek-aspek yang relevan dengan emosi yang kita alami,” tukas Kensinger dilansir dari LiveScience, Jumat, 19 Februari.

Sebaliknya, mengalami peristiwa positif justru kurang efektif untuk merekam detil tertentu.

“Jadi, Anda akan mengingat hal baik dengan cara yang sama baiknya,” kata Kensinger.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa trauma dan pengalaman buruk terekam sepanjang kita hidup. Lebih jauh lagi artinya dibutuhkan cara-cara untuk bernegosiasi dengan pengalaman buruk agar tidak memengaruhi segala aspek berkaitan kualitas hidup.