Meski Belum Wajib, Anak-Anak Bisa Belajar Puasa Sesuai Perkembangan Kognitifnya
Ilustrasi anak belajar puasa sesuai perkembangan kognitif (Freepik)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Dalam momen bulan Ramadan, banyak orang tua ingin mengajarkan berpuasa pada buah hati. Meski sebelum akil baliq anak-anak belum wajib berpuasa, tetapi membersamai mereka untuk menjalani ibadah wajib penting dilakukan orang tua.

Menurut Ketua Pengurus Pusat IDAI, dokter Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K)., banyak makhluk hidup berpuasa. Bahkan bayi yang baru berusia tiga hari memiliki kapasitas lambung sebanyak 2 sendok ASI. Mereka berpuasa karena membutuhkan 300 kalori setiap harinya sedangkan lambung hanya bisa menerima dua sendok saja. Kebutuhan kalori dipenuhi oleh lemak cokelat dalam tubuh, yang diolah menjadi keton dan lalu menjadi sumber energi.

anak belajar puasa sesuai perkembangan kognitif
Ilustrasi anak belajar puasa sesuai perkembangan kognitif (Freepik)

Dalam media briefing oleh Pengurus Pusat IDAI digelar siang tadi, Kamis, 6 April, dokter Piprim memaparkan, anak-anak yang belum wajib berpuasa tetapi perlu dibersamai orang tua ketika belajar berpuasa. Tidak ada patokan pasti kapan anak-anak kuat berpuasa. Tetapi orang tua harus memonitor asupan cairan dan kecukupan gizi seimbang selama berpuasa. Misalnya, anak usia 6-7 tahun mulai belajar puasa.

Pesan dokter Piprim, “Jangan sampai dehidrasi dan juga berikan makanan seimbang. Hindari makanan manis terlalu banyak, tinggi kalori, karena berpotensi obesitas. Makanan manis, tinggi gula, dan tepung-tepungan, akan membuat gula darah cepat naik dan turunnya juga cepat. Ini disebut glucose spike.”

anak belajar puasa sesuai perkembangan kognitif
Ilustrasi anak belajar puasa sesuai perkembangan kognitif (Freepik)

Karena tidak ada patokan usia untuk anak belajar berpuasa, orang tua harus memastikan beberapa hal terkait perkembangan kognitif anak. Orang tua bisa mengajak anak belajar berpuasa, ketika anak matang secara mental, emosi, dan spiritual. Ini juga tergantung pola asuh yang dipraktikkan orang tua. Rekomendasinya, waktu belajar berpuasa jangan terlalu sebentar ataupun jangan terlalu lama. Misalnya, ketika anak ikut makan sahur, pahamkan bahwa puasa tidak akan sarapan, tidak minum, dan tidak ngemil. Pahamkan pula bahwa puasa tidak hanya menahan haus dan lapar, tetapi beri pemahaman tentang nilai puasa sesuai pengetahuan anak.

Dokter Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K)., MPH. memaparkan, anak yang sudah siap berpuasa memiliki ketertarikan pada aktivitas selama puasa Ramadan. Mereka juga dapat berkomunikasi dengan baik, setidaknya bisa mengkomunikasikan pada orang tuanya kalau tidak kuat berpuasa. Kalau menurut perkembangan kognitif Piaget, anak usia 6-7 tahun sudah mandiri, tubuh lebih siap, dan masuk pada tahap operasional konkrit. Ini berarti, anak-anak mampu mengerti dan memahami logika serta berkemampuan berpikir abstrak.

Anak perlu diperkenalkan dengan puasa sesuai tahap perkembangannya. Perlu dipahami orang tua, bahwa berpuasa bermanfaat bagi perkembangan anak,” tutur dokter Bernie, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat dan Kesejahteraan Anggota PP IDAI.

Bagi perkembangan anak, berpuasa dapat bermanfaat dalam melatih regulasi diri, melatih untuk bersabar, melatih disiplin, menghargai aturan dan waktu, melatih bertoleransi, meningkatkan kegigihan, meningkatkan keimanan dan pengetahuan tentang agama, serta mencegah terjadinya obesitas. Penting dipraktikkan orang tua, tidak boleh memaksa anak karena nanti bisa trauma. Pesan dokter Piprim sebagai penutup, berikan nutrisi seimbang, termasuk makro dan mikronutrisi.

Kebutuhan protein 2 gram per kilogram berat badan. Contoh, usia 6 tahun berat 20 kilo, membutuhkan 40 gram protein sehari. Misal, dalam 1 butir telur mengandung 6 gram protein. Butuhnya 6-7 butir. Kalau ditambahkan ikan, sekira 1 ons fillet ikan mengandung 25 gram protein. Jadi butuh 1,5 ons. Usahakan jangan sekali makan, tetapi dicicil. Kalau berbuka makan 3 telur, maka sahur bisa 7 telur,” jelas dokter Piprim sebagai panduan menyediakan asupan protein selama anak belajar berpuasa.