JAKARTA - Cerita hidup Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara menarik dibaca. Cucu dari Paku Alam III ini adalah orang yang bikin pusing Belanda.
Orang-orang tahu dia sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Tapi, sesungguhnya dia andal dalam segala bidang, termasuk politik, jurnalistik, dan kebudayaan.
Kisah hidupnya direkam dalam buku berjudul Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan karya Irna H.N. Hadi Soewito. Dari buku berhalama 144 lembar ini, banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah dia, saat muda, saat berada di pembuangan di Belanda, dan saat kepulangannya ke Indonesia.
Soewardi Muda
Oleh penulis, Soewardi muda digambarkan telah terbiasa bermain dengan orang-orang yang bukan dari kalangan bangsawan. Soewardi kecil termasuk dalam orang keras hati dan nakal. Sifat keras hatinya tak dipergunakan dalam hal remeh, tapi kepada hal-hal yang perlu dibela, seperti perundungan.
Contoh kasusnya, sewaktu anak Belanda mengganggu temannya, ia tak segan-segan mendatangi anak tersebut. Dia pun mencaci menggunakan bahasa Belanda yang fasih, sehingga perkelahian tak terelakkan.
Waktu itu kebetulan yang ia bela ialah sosok perempuan bernama Soetartinah. Melalui peristiwa tersebutlah ia pertama kali harus berurusan dengan polisi kolonial. Dan untuk kali pertama pula perasaan 'cinta anak-anak' antara Soewardi dan Soerartinah tampak.
Beranjak Dewasa, Soewardi yang tamat dari Euroeesche Lagere School (setingkat SD), kemudian melanjutkan pendidikannya ke School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), atau yang dikenal khalayak sebagai sekolah dokter Jawa di Batavia. Dia tak menamatkan pendidikannya di sana.
Dia memilih bekerja, dan salah satu pekerjaan yang pernah dilakukan ialah menjadi apoteker. Sayangnya, ia pernah salah meramu obat, dan membuatnya dibebastugaskan. Belakangan, kejadian ini diketahui karena waktu Soewardi tersita untuk menulis di surat kabar.
Lahirnya tulisan Als ik eens Nederlander was
Dari menulis dia mendapatkan ketenangan. Di dunia ini pula, dia mengenal Douwes Dekker dan Tjiptomangonkusomo, serta bergabung dengan majalah De Expres. Ini semua yang membuka jalan dia membangun partai politik Indische Partij.
“Baginya majalah ini merupakan alat propaganda, yang mana kemudian, bersama De Expres, menjadi pelopor kelahiran partai politik yang disebut Indische Partij. Partai yang bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan tanah air, serta mempersiapkan bangsa Hindia agar dapat berdiri sendiri. Indie voor Indiers atau Hindia untuk bangsa Hindia," tulis buku tersebut di halaman 8.
Tulisan berjudul Als ik eens Nederlander was atau “seandainya aku seorang Belanda” membuat dia diasingkan ke Belanda. Tulisan ini berisi kritikan atas rencana pemerintah Belanda pada 1913 yang ingin merayakan kemerdekaan yang ke-100 dari jajahan Prancis. Parahnya lagi, penduduk Hindia dipungut biaya secara paksa demi perayaan itu.
Tulisan yang diterbitkan oleh Comite Bumi Putera yang mencapai 5.000 eksemplar ini, dicetak dalam dua bahasa, Bahasa Melayu dan Belanda. Isi tulisan yang memprotes pemerintah Belanda, bahwa bangsa Hindia tak selayaknya ikut merayakan kemerdekaan bangsa yang sedang menindasnya.
“Andaikata aku seorang Belanda, aku tidak akan merayakan perayaan itu di dalam negeri yang sedang kami jajah. Pertama, kami harus memberikan kemerdekaan kepada rakyat yang dijajah, kemudian baru memperingati kemerdekaan kami sendiri,” kata Soewardi di akhir tulisan Als ik eens Nederlander was.
Tulisan itu dianggap menghasut. Dia ditangkap dan dipenjara. Beberapa bulan berselang, ia dengan kedua rekannya (Douwes Dekker dan Tjiptomangonkusomo) diasingkan ke Belanda. Mereka tidak memperoleh biaya hidup di sana. Sebelum diputuskan ke Belanda, disempat menolak diasingkan ke pulau Bangka.
Hidup di pengasingan
Soewardi dan istrinya ke pengasingan Belanda menggunakan kapal bernama Bulow, berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok.
Setibanya di Belanda, kehidupan Soewardi serba kekurangan. Banyak orang yang bersimpati dan ingin membantunya, tapi ditolak Soewardi. Soewardi memilih mencari tambahan nafkah lewat menulis di sejumlah surat kabar Belanda.
Istri Soewardi, Soetratinah juga tak tinggal diam. Dia pun mencari pekerjaan dan menjadi guru di Frobel School (setingkat taman kanak-kanak) di Weimaar, Den Haag.
elain menulis, Soewardi juga aktif dalam berbagai forum yang ada di Belanda, termasuk diskusi yang sering diadakan oleh Douwes Dekker di Paleis Voor Volkvlijt (gedung pertemuan di Amsterdam) setiap malam.
Soewardi membangun sebuah kantor berita, Indonesisch Persbureau (Biro Pers Indonesia). Ini ditujukan karena banyak orang Belanda yang tak paham kondisi di Hindia (sebutan untuk Indonesia). Perusahaan ini juga dibuat untuk memberitahukan kenyataan yang ada di Hindia.
Indonesisch Persbureau ini jadi kantor berita pertama yang bercorak nasional, dan dari situ sebutan Indonesia untuk menyebut Hindia Belanda mulai dikenal seantero Eropa.
Kegiatan kantor berita tersebut tidak hanya terbatas pada bidang jurnalistik saja. Di tempat ini, Soewardi sering menyelenggarakan ceramah, pamerah, dan malam kesenian. Dahulu jika orang-orang mengenal Soewardi selalu mengebu-gedu, saat di Belanda ia pun cenderung berubah.
"Dari guratan pena yang tajam membakar, berubah jadi seperti air telaga yang hanya beriak ditiup angin. Dia menulis tentang kebudayaan, kemanusiaan, pertanian, peternakan, dan sebagainya. Karangan mengenai tanah air banyak yang menyinggung kehidupan masyarakat pada umumnya," tulis buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan halaman 64.
Meskipun disibukkan seputar pekerjaan di bidang pers, ia juga menyempatkan diri berinteraksi di Indische Vereeniging (perhimpunan Hindia) dan mengikuti pelajaran di Lager Onderwijs (sekolah guru). Pada 12 juni 1915, ia mendapatkan ijazah yang disebut Akte bekwaamheid als Onderwijzer (ijazah kepandaian mengajar).
Melalui sekolah itulah, ia langsung akrab dengan pemikiran-pemikiran pendidikan yang memerdekaan. Figur-figur seperti Rabindranath Tagore, Maria Montessori, dan Freidrich Froebel menjadi inspirasinya selama belajar. Soewardi pun memilih jalur pendidikan sebagai taktik dalam berjuang, yang sebelumnya dia getol menyuarakan aspirasi lewat lajur politik.
Kembali Pulang
Setelah 5 tahun di pengasingan, Soewardi pun pulang ke tanah air. Kepulangannya, diartikannya sebagai kembali ke medan perjuangan sesungguhnya. Ia menuju ke tanah air dengan kapal bernama Rindjani, membawa serta satu koper besar dan dua peti buku.
Perjalanannya ini selama 51 satu hari. Terapung-apung mengarungi Samudera Atlantik. Pada 15 September 1919, Soewardi menginjakkan kakinya di pelabuhan Tanjung Priok, Batavia.
Beberapa tahun setelahnya, ia mulai aktif mengembangkan Taman Siswa. Dia juga mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Nama itu kini dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Judul Buku: Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan
Penulis: Irna H.N. Hadi Soewito
Terbit Pertama Kali: 1985
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) kersama dengan Balai Pustaka
Jumlah Halaman: 144