Kisah Suku Mentawai dalam Novel Burung Kayu, Upaya Mempertahankan Budaya dan Tradisi
Burung Kayu

Bagikan:

Sebuah Resensi oleh: Bintang Wijaya Darma

JAKARTA - Novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang menawarkan kisah suku Mentawai yang indah. Novel ini masuk dalam kategori Naskah yang Menarik Perhatian Juri pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019.

Novel yang terbit tahun 2020 ini diterbitkan oleh penerbit CV. Teroka Gaya Baru terdapat 174 halaman. Burung Kayu merupakan novel etnografi berlatar kehidupan masyarakat Suku Mentawai.

Novel Burung Kayu yang ditulis oleh penulis yang tidak memiliki latar belakang Suku Mentawai atau sasareu (orang luar Mentawai) setelah melakukan penelitian selama dua bulan untuk mengenal lebih dalam tentang kehidupan Suku Mentawai dan ini menjadi tantangan tersendiri buat Niduparas Erlang selama menulis novel Burung Kayu ini.

Bahasa yang digunakan dalam novel Burung Kayu banyak menggunakan istilah dalam bahasa Suku Mentawai, namun penulis tidak memberikan catatan kaki seperti novel-novel etnografi lainnya. Tujuan penulis untuk tidak menambahkan catatan kaki pada novel Burung Kayu yaitu anti-intelektualisme dan pembaca mendapatkan pengalaman baru dalam istilah-istilah daerah sehingga mampu menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya, tradisi, dan bahasa daerah di Indonesia.

Konflik dalam novel Burung Kayu berlatar antar suku, adat-istiadat, serta suku dan agama. Novel ini mengisahkan kehidupan keluarga Leugeumanai dengan permulaan konflik antar uma Leugeumanai dan uma di seberang sungai. Pertikaian antar-dua suku di hulu berakhir pada kematian Bagaiogok. Taksilitoni, istrinya, berdalih menikahkan anaknya yang bernama Legeumanai dengan Saengrekerei adik iparnya sendiri, maksud hati dia ingin mewariskan denda kematian kepada anaknya.

Namun setelah pernikahan itu, berbagai macam konflik lain muncul ketika mereka memilih pindah ke barasi di dekat muara, pemukiman yang dibangun pemerintah untuk memajukan suku-suku di hulu. Niat yang awalnya untuk membalas dendam, kini dendam itu terbengkalai, karena keluarga kecil itu harus berhadapan dengan kebijakan negara, agama-agama resmi, korporasi dan konflik-konflik yang baru muncul di antara berbagai suku.

Ada banyak budaya dan tradisi Suku Mentawai diantaranya ritual tato, ritual pako, ritual maturuk, ritual tipu sasa yang menjadikan novel Burung Kayu ini dapat menjadi pilihan utama bagi para pembaca yang ingin menikmati sentuhan budaya dalam sebuah tulisan.

Novel Burung Kayu juga sangat cocok jika dijadikan sebagai bahan acuan untuk melakukan sebuah penelitian terhadap budaya terutama dalam lingkup sastra. Tidak heran jika novel ini menjadi salah satu naskah yang menarik di Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 dan menjadi juara Kusala Sastra Khatulistiwa 2020.

Burung kayu merupakan sebuah simbol atau lambang kemenangan, pahatan berbentuk burung ini biasanya ditemui di suatu uma yang terlibat dalam perseturuan adat dengan uma lain.